Tunjangan Sertifikasi dan Kinerja Guru
Peringatan
Hari Guru Nasional 2013 yang lalu
meninggalkan tiga hal pokok tentang guru. Pertama, berupa motivasi yang
disampaikan oleh Mendikbud, Moh.Nuh. Dalam hal ini beliau banyak
memberikan semangat kepada guru untuk tetap berkarya pada profesinya
karena guru adalah profesi yang agung dan mulia seperti yang tersurat
dalam kata sambutan beliau “Ke masa depan yang bagaimana peserta didik
akan dibawa tergantung pada jembatan itu. Dari tiga penggalan masa (masa
lalu, masa kini, dan masa depan), masa depanlah yang menjadi tujuan
dengan memanfaatkan sebaik-baiknya masa lalu dan masa kini. Tugas guru
sangat mulia karena menyiapkan generasi penerus demi masa depannya yang
lebih baik, lebih berbudaya, dan sekaligus membangun peradaban. Dengan
demikian, secara hakiki dan asali (genuine) guru adalah mulia, menjadi
guru berarti menjadi mulia, bahkan kemuliaannya sama sekali tidak
memerlukan atribut tambahan (aksesori). Memuliakan profesi yang mulia
(guru) adalah kemuliaan, dan hanya orang-orang mulia yang tahu bagaimana
memuliakan dan menghargai kemuliaan”..Kedua harapan ke depan terkait
dengan sistem pengelolaan guru, yang disampaikan oleh Ketum PB PGRI,
DR.Sulistiyo. Dan yang ketiga adalah berupa kritikan pedas kepada para
guru yang disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono. terkait
dengan kinerja guru. Kalau dilihat dari tema HGN 2011 sebenarnya
kritikan Presiden sangat pas terutama pada subtemanya yaitu “Peningkatan
Kinerja Guru untuk Pendidikan Bermutu”
Dari
ketiga hal pokok yang penulis sampaikan di atas dua hal bersifat sangat
normatif tetapi satu lagi yang berupa kritikan dari Presiden SBY harus
menjadi perhatian utama kepada para pemangku kepentingan pendidikan dan
tidak luput adalah para guru itu sendiri.Penulis melihat bahwa ada
masalah dalam diri guru, karena terjadi kesenjangan antara harapan dan
kenyataan. Pemerintah telah memberikan kesejahteraan kepada guru melalui
tunjangan profesi dan tunjangan-tunjangan lain sebagai harapan guru,
tetapi mengapa realitasnya kinerja guru sampai sekarang masih rendah?
Apa yang menyebabkan kinerja guru masih rendah?Bagaimana mutu pendidikan
kita kalau para pendidiknya dalam bertugas kinerjanya pas-pasan kalau
tidak mau dikatakan rendah?
Daftar Isi
Hakekat Sertifikasi
Ada
yang berpendapat bahwa sejatinya sertifikasi adalah alat untuk
meningkatkan kesejahteraan guru. Bahkan ada yang lebih berani mengatakan
bahwa sertifikasi adalah ”akal-akalan” pemerintah untuk menaikkan gaji
guru. Kata sertifikasi hanyalah kata pembungkus agar tidak menimbulkan
kecemburuan profesi yang lain.
Pemahaman
seperti itu tidak terlalu salah sebab dalam Undang-Undang Guru dan
Dosen (UUGD) pasal 16 disebutkan bahwa guru yang memiliki sertifikat
pendidik, berhak mendapatkan insentif yang berupa tunjangan profesi.
Besar insentif tunjangan profesi yang dijanjikan oleh UUGD adalah
sebesar satu kali gaji pokok untuk setiap bulannya.
Namun,
persepsi seperti itu cenderung mencari-cari kesalahan suatu program
pemerintah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Peningkatan kesejahteraan guru dalam kaitannya dengan sertifikasi harus
dipahami dalam rangka penigkatan mutu pendidikan nasional, baik dari
segi proses (layanan) maupun hasil (luaran) pendidikan. Di samping itu,
menurut Samani dkk,(2006;3), yang perlu disadari bahwa guru adalah
subsistem pendidikan nasional. Dengan adanya sertifikasi, diharapkan
kompetensi guru sebagai agen pembelajaran akan meningkat sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan. Dengan kompetensi guru yang memenuhi
standar minimal dan kesejahteraan yang memadai diharapkan kinerja guru
dalam mengelola proses pembelajaran dapat meningkat. Kualitas
pembelajaran yang meningkat diharapkan akan bermuara akhir pada
terjadinya peneingkatan prestasi hasil belajar siswa. Sampai detik ini
(per 30 Desember 2011) menurut Presiden belum terwujud. Sampai sekarang
kinerja guru masih rendah,pada hal kenyataannya sekarang para guru sudah
banyak yang menikmati kesejahteraan lebih dibanding profesi yang lain
setelah memperoleh tunjangan profesi yang satu kali gaji setiap
bulannya. Persoalannya adalah apakah tunjangan tersebut dipergunakan
sungguh-sungguh oleh guru sehingga lebih profesional atau hanya
dipergunkan untuk hal-hal bersifat konsumtif semata? Atau tunjangan satu
kali gaji setiap bulannya dirasa masih kurang sehingga kinerjanya tidak
meningkat? Dan paling ironis, penulis banyak mendengar dari para guru
bahwa tunjangan sekali gaji dalam tiap bulannya dianggap sebagai ”rejeki
nomplok” bukan sebagai tanggung jawab moral untuk menjadikan dirinya
lebih profesional. Apakah ini penyebabnya?
Profesionalisme Guru
Guru
profesional adalah guru yang mampu menerapkan hubungan yang berbentuk
multidimensional. Guru demikian adalah guru yang secara internal
memenuhi kriteria administratif, akademis dan kepribadian. Menurut
Muhamad Nurdin (2004;20) persyaratan guru yang profesional adalah sehat
jasmani dan rohani, bertakwa, berilmu pengetahuan, berlaku adil,
berwibawa, ikhlas, mempunyai tujuan, mampu merencanakan dan melaksanakan
evaluasi pendidikan serta menguasai bidang yang ditekuninya.
Kesembilan
syarat penting bagi guru profesional ini secara garis besar dapat
dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu persyaratan administratif,
akademis dan kepribadian. Persyaratan administratif adalah persyaratan
yang harus dimiliki oleh seorang guru yang ingin menjadi profesional
dalam kaitannya dengan persyaratan legal formal. Di Indonesia,
persyaratan yang demikian ini (khususnya bagi lembaga pendidikan formal)
menjadi sangat menentukan. Bahkan kualitas seseorang dapat dilihat dari
ijazah serta sertifikat keilmuan yang dimilikinya. Dalam konteks
keindonesiaan, persyaratan administratif merupakan alah satu persyaratan
yang sangat penting. Persyaratan akademis adalah persyaratan yang harus
dimiliki seorang guru yang ingin menjadi profesional dalam kaitannya
dengan kapabilitas dan kualitas intelektual. Persyaratan akademis juga
merupakan syarat yang sangat penting bagi seorang guru profesional.
Persyaratan ini sangat menentukan keberhasilan proses pendidikan yang
dilaksanakannya. Kesuksesan pendidikan bukan hanya menjadi beban dan
tanggung jawab murid sebagai pencari ilmu, akan tetapi justru gurulah
yang memegang peran dominan. Karena jika guru secara akademis sudah
tidak memadai, maka dengan sendirinya keterampilan untuk mengajar,
kemampuan penguasaan materi pengajaran, dan bagaimana mengevaluasi
keberhasilan murid tidak dimiliki secara akurat dan benar. Hal ini jelas
sangat merugikan proses pendidikan yang bukan hanya berakibat fatal
bagi seorang murid, melainkan bagi seluruh murid atau bahkan seluruh
stakeholder pendidikan.
Persyaratan
kepribadian adalah persyaratan yang harus dimiliki guru yang ingin
menjadi profesional dalam kaitannya dengan sikap dan perilaku dalam
kehidupan sehari-hari. Guru adalah seseorang yang harus digugu dan
ditiru, khususnya oleh murid. Sebagai seseorang yang harus digugu dan
ditiru, dengan sendirinya mensyaratkan secara internal bahwa seorang
guru harus memiliki kepribadian dan perilaku yang baik. Dalam hal ini
bukan hanya dalam kaitannya dengan tradisi, kesopanan, dan unggah-unggah
di masyarakat setempat, akan tetapi juga nilai-nilai keagamaan. Sebagai
seorang guru yang profesional tidak ada alasan lain kecuali berakhlak
yang mulia, baik dalam kaitannya dengan orang lain (murid dan
masyarakat), diri sendiri, lingkungan (alam sekitar), dan tentunya
dengan Tuhan YME. Berakhlak baik dengan Tuhan belum menjadi jaminan
bahwa seoran guru telah berakhlak mulia dengan masyarakat, dengan
dirinya atau dengan lingkungan. Demikian juga sebaliknya, berakhlak baik
dengan dirinya belum tentu menjadi jaminan berakhlak mulia dengan
lingkungan, masyarakat dan Tuhan YME.
Menurut
Tatty S.B. Amran (1994:139) untuk mengembangkan profesional diperlukan
KASAH adalah akronim dari Knowledge (pengetahuan), Ability (kemampuan),
Skill (keterampilan), Attitude (sikap diri), dan Habit (kebiasaan diri).
Menurut Muhammad Hatta (1954:5), yang dimaksud pengetahuan adalah
sesuatu yang didapat dari membaca dan pengalaman. Sedangkan ilmu
pengetahuan adalah pengetahuan yang didapat dengan jalan keterangan
(analisis).
Pengetahuan menurut
Saefudin Ansari (1991:45) dapat dibedakan menjadi empat macam yaitu (1)
pengetahuan biasa, yaitu pengetahuan tentang hal-hal biasa, kejadian
sehari-hari, yang selanjutnya disebut pengetahuan; (2) pengetahuan
ilmiah, yaitu pengetahuan yang mempunyai sistem dan metode tertentu,
yang selanjutnya disebut ilmu pengetahuan; (3) pengetahuan filosofis,
yaitu semacam ‘’ilmu’’ istimewa yang mencoba menjawab istilah-istilah
yang tidak terjawab oleh ilmu-ilmu biasa, yang sering disebut sebagai
filsafat; (4) pengetahuan teologis, yaitu pengetahuan tentang keagamaan,
pengetahuan tentang pemberitahuan dari Tuhan.
Dalam
pengembangan profesionalisme guru, menambah ilmu pengetahuan adalah hal
yang mutlak. Kita harus mempelajari segala macam pengetahuan, akan
tetapi kita juga harus mengadakan skala prioritas. Kenapa demikian?
Karena dalam menunjang keprofesionalan kita sebagai guru, menambah ilmu
pengetahuan tentang keguruan sangat perlu. Namun bukan berarti kita
hanya mempelajari satu disiplin ilmu saja. Semakin banyak ilmu
pengetahuan yang kita pelajari, semakin banyak pula wawasan kita tentang
berbagai ilmu.
Ability (kemampuan)
terdiri dari dua unsur, yaitu yang biasa dipelajari dan yang amaliah.
Pengetahuan dan keterampilan adalah unsur kemampuan yang biasa
dipelajari, sedangkan yang alamiah orang menyebutnya dengan bakat. Jika
orang hanya mengandalkan bakat saja tanpa mempelajari dan membiasakan
kemampuannya, maka dia tidak akan berkembang. Karena bakat hanya sekian
persen saja menuju keberhasilan. Sedangkan orang yang berhasil dalam
mengembangkan profesionalisme itu ditunjang oleh ketekunan dalam
mempelajari dan mengasah kemampuannya. Oleh karena itu, potensi yang ada
pada kita harus terus diasah.
Kemampuan
paling dasar yang diperlukan adalah kemampuan dalam mengantisipasi
setiap perubahan terjadi. Oleh karena itu, seorang guru yang profesional
tentunya tidak ingin ketinggalan dalam percaturan global. Dengan
demikian, ia harus mengantisipasi perubahan itu dengan banyak membaca
supaya bertambah ilmu pengetahuannya. Menurut Jeannette Vos (2003:87),
jika seorang guru ingin bertambah luas pengetahuannya, maka ia harus
menggunakan dunia ini sebagai ruang kelasnya. Untuk mengembangkan
profesionalisme guru supaya berpengetahuan luas tentunya dibutuhkan
kemauan. Seperti sebuah ungkapan, ‘’kalau ada kemauan, pasti ada
jalan’’, maka segala sesuatu harus ditunjang terlebih dahulu oleh
kemauan keras supaya berhasil.
Keterampilan
(skill) merupakan salah satu unsur kemampuan yang dapat dipelajari pada
unsur penerapannya. Suatu keterampilan merupakan keahlian yang
bermanfaat untuk jangka panjang. Keterampilan merupakan the requisite
knowledge and abilityi. Sebetulnya banyak sekali keterampilan yang
dibutuhkan dalam pengembangan profesionalisme, tergantung pada jenis
pekerjaan masing-masing. Keterampilan mengajar merupakan pengetahuan
(knowledge) dan kemampuan (ability) yang diperlukan untuk melaksanakan
tugas guru dalam pengajaran. Menurut Nurdin (2004:144-146) bagi seorang
guru yang tugasnya mengajar dan peranannya di dalam kelas, keterampilan
yang harus dimiliki anatar lain: pengajar, pemimpin kelas, pembimbing,
pengatur lingkungan, partisipan, ekspeditur, perencana, supervisor,
motivator, penanya, evaluator dan konselor. Sedangkan menurut Bafadal
(1992:37) keterampilan yang harus dimiliki oelh seorang guru adalah: (1)
keterampilan merencanakan pengajaran, (2) keterampilan
mengimplementasikan pengajaran, (3) keterampilan menilai pengajaran.
Attitude
(sikap diri) seseorang terbentuk oleh suasana lingkungan yang
mengitarinya. Seorang anak pasti mulai belajar tentang dirinya melalui
lingkungan yang terdekat, yaitu orang tua. Oleh karena itu, masa kecil
adalah masa peniruan, di mana setiap gerak gerik yang dilihatnya akan
dia tiru. Oleh karena itu, sikap diri perlu dikembangkan (tentunya yang
baik). Salah satu contoh bila kita di rumah sangat ramah terhadap
keluarga, besar kemungkinan di sekolah pun kita akan bersikap ramah
terhadap anak didik dan teman sejawat. Dengan demikian, kita biasa
melihat bahwa sikap diri merupakan kepribadian seseorang. Menurut
Zuhairini (1991:186) kepribadian adalah hasil dari sebuah proses
sepanjang hidup. Kepribadian bukan terjadi secara tiba-tiba, akan tetapi
terbentuk melalui perjuangan hidup yang sangat panjang. Apakah dia
berkepribadian muslim, apakah seseorang itu berkepribadian baik atau
buruk, kuat atau lemah, beradab atau biadab, semua itu sangat
dipengaruhi oleh banyak faktor. Dengan demikian, faktor pendidikan
sangat mempengaruhi kualitas kepribadian seseorang, yang di dalamnya ada
guru yang juga mempunyai kepribadian yang baik.
Habit
(kebiasaan diri) adalah suatu kegiatan yang terus menerus dilakukan
yang tumbuh dari dalam pikiran. Pengembangan kebiasaan diri harus
dilandasi dengan kesadaran bahwa usaha tersebut membutuhkan proses yang
cukup panjang. Kebiasaan positif di antaranya adalah menyapa dengan
ramah, memberi pujian kepada anak didik dengan tulus, menyampaikan rasa
simpati, menyampaikan rasa penghargaan kepada kerabat, teman sejawat
atau anak didik yang berprestasi dan lain-lain. Menurut AA Gym
(2003:156) kebiasaan diri yang harus terus dilakukan di antaranya:
beribadah dengan benar dan istiqamah, berakhlak baik, belajar dan
berlatih tiada henti, bekerja keras dengan cerdas, bersahaja dalam
hidup, bantu sesama dan bersihkan hati selalu.
Itulah
beberapa kebiasaan diri yang harus dilakukan. Apabila seorang guru yang
menjadi fublic figure di tengah-tengah anak didiknya, sudah barang
tentu harus mempunyai kebiasaan yang baik, supaya anak didiknya
memberikan penilaian terbaik kepada kita.
Guru
sebagai social worker (pekerja sosial) sangat dibutuhkan oleh
masyarakat. Namun, kebutuhan masyarakat akan guru belum seimbang dengan
sikap sosial masyarakat terhadap profesi guru. Berbeda bila dibandingkan
dengan penghargaan mereka terhadap profesi lain, seperti dokter,
pengacara, insinyur, dan sebagainya. Rendahnya pengakuan masyarakat
terhadap guru, menurut Tabrani Rusyan (Nurdin, 2004:192), disebabkan
beberapa faktor yaitu:
- Adanya pandangan sebagian masyarakat bahwa siapa pun dapat menjadi guru, asalkan ia berpengetahuan, walaupun tidak mengerti didaktik metodik.
- Kekurangan tenaga guru di daerah terpencil memberikan peluang untuk mengangkat seseorang yang tidak mempunyai kewenangan profesional untuk menjadi guru.
- Banyak tenaga guru sendiri yang belum menghargai profesinya sendiri, apalagi berusaha mengembangkan profesi tersebut. Perasaan rendah diri karena menjadi guru masih menggelayut di hati mereka sehingga mereka melakukan penyalah-gunaan profesi untuk kepuasan dan kepentingan pribadi, yang hanya akan menambah pudar wibawa guru di mata masyarakat.
Berdasarkan
pendapat di atas nampak jelas bahwa guru merupakan suatu jabatan atau
profesi yang menuntut suatu keahlian khusus. Memang tidak setiap orang
bisa menjadi guru, karena harus didukung dengan komponen-komponen yang
menunjang profesi tersebut, seperti kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Juga untuk
menjadi guru dibutuhkan keahlian khusus, maka ia harus lulus pendidikan
keguruan atau pendidikan profesi dan harus lulus ujian sertifikasi, baik
ujian tertulis, kinerja maupun portfolio.
Peran
guru dalam pembelajaran seperti dijelaskan oleh Dr. Wina Sanjaya, M.Pd.
(2005:13) sebagai perencana, peran sebagai pengelola, dan peran guru
sebagai evaluator. Peran guru sebagai perencana pembelajaran sangat
menentukan keberhasilan pencapaian kompetensi. Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) 2006 memberikan peluang kepada guru untuk melaksanakan
pembelajaran sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa serta kondisi
daerah masing-masing. Oleh karena itu dalam proses penyusunan
perencanaan, guru dituntut agar memahami kebutuhan dan kondisi daerah
setempat, di samping memahami karakteristik siswa. Melalui pemahaman itu
selanjutnya guru mendesain pembelajaran yang sesuai dengan kondisi
lapangan dan kebutuhan.
Guru sebagai
pengelola pembelajaran tujuannya agar terciptanya kondisi lingkungan
belajar yang menyenangkan bagi siswa, sehingga dalam proses pembelajaran
siswa tidak merasa terpaksa apalagi tertekan. Oleh karena itulah,
peran dan tanggung jawab guru sebagai pengelola pembelajaran (manager of
learning) menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif, baik iklim
sosial maupun iklim psikologis. Iklim sosial yang baik ditunjukkan oleh
terciptanya hubungan yang harmonis baik antara guru dan siswa, guru-guru
atau antar guru dan pimpinan sekolah; sedang hubungan psikologis
ditunjukkan oleh adanya saling kepercayaan dan saling menghormati
antarsemua unsur di sekolah. Melalui iklim yang demikian, memungkinkan
siswa untuk berkembang secara optimal, terbuka dan demokratis.
Guru
sebagai fasilitator, tugas guru adalah membantu untuk mempermudah siswa
belajar. Dengan demikian guru perlu memahami karakteristik siswa
termasuk gaya belajar, kebutuhan kemampuan dasar yang dimiliki siswa.
Melalui pemahaman itu guru dapat melayanidan memfasilitasi setiap siswa.
Sebagai seorang fasilitator guru harus menempatkan diri sebagai orang
yang memberi pengarahan dan petunjuk agar siswa dapat belajar secara
optimal. Dengan demikian yang menjadi sentral kegiatan pembelajaran
adalah siswa bukan guru. Guru tidak berperan sebagai sumber belajar yang
dianggap serba bisa dan serba tahu segala macam hal.
Guru
sebagai seorang evaluator tidak kalah pentingnya dengan peran yang
lain. Dilihat dari fungsinya evaluasi bisa berfungsi sebagai formatif
dan sumatif. Evaluasi formatif berfungsi untuk melihat berbagai
kelemahan guru dalam mengajar. Artinya hasil dari evaluasi ini digunakan
sebagai bahan masukan untuk memperbaiki kinerja guru. Evaluasi sumatif
digunakan sebagai bahan untuk menentukan keberhasilan siswa dalam
melakukan pembelajaran. Dengan demikian peran guru sebagai seorang
evaluator, menunjukkan ke dalam dua hal, yaitu peran untuk melihat
keberhasilannya dalam mengajar dan peran untuk menentukan ketercapaian
siswa dalam menguasai kompetensi sesuai dengan kurikulum.
Kinerja Guru
Kinerja
merupakan kegiatan yang mengarah kepada suatu hasil yang diharapkan.
Timpe mendefinisikan kinerja sebagai penilaian tingkat kinerja yang
dikerjakan dengan jelas. Sementara oleh Fremont, Kast dan Rosenzweig
yang diterjemahkan oleh M. Yasin menyatakan bahwa kinerja berarti sama
dengan kesanggupan dan motivasi. Kemudian Smith yang dikutip oleh
Sedarmayanti menyatakan bahwa performance atau kinerja merupakan hasil
atau keluaran dari suatu proses. Menurut Sentono performance adalah
hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam
suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab
masing-masing dalam rangka mencapai tujuan organisasi secara legal,
bermoral dan etika.
Kinerja merupakan
perbuatan yang dilakukan seseorang dalam aktifitasnya, yang dipengaruhi
oleh beberapa faktor. Faktor yang mempengaruhi kinerja guru meliputi
faktor internal dan eksternal. Faktor internal yaitu: sikap, minat,
intelegensi, motivasi, dan kepribadian. Sedangkan faktor eksternal
adalah sarana, prasarana, insentif, suasana kerja dan lingkungan kerja.
Robbins
mengemukakan kinerja adalah ukuran kerja yang dilakukan dengan
menggunakan kriteria yang disetujui bersama. Dilihat dari karakteristik
personil, kinerja meliputi kemampuan, keterampilan, kepribadian, dan
motivasi untuk dapat melaksanakan tugas dengan baik.
Menurut
Sahertian kinerja biasanya dikaitkan dengan jabatan tugas yang
menyangkut pengetahuan, keterampilan dan ciri khas dari perilaku kerja
seseorang. Sementara Wahjosumidjo mengartikan kinerja atau penampilan
(performance) adalah sumbangan secara kualitatif maupun kuantitatif yang
terukur dalam rangka tercapainya tujuan kelompok dalam suatu unit
kerja.
Dari beberapa pengertian di
atas jika dihubungkan dengan kinerja guru, dapat dikatakan bahwa kinerja
guru itu berhubungan dengan perilaku guru yaitu berbagai aktivitas guru
dalam proses instruksional yang berkaitan dengan tanggungjawab dan
tugas guru.
Uzer mengelompokkan tiga
tugas pokok seorang guru yang harus tampak dalam kinerjanya, yakni
pertqama tugas dalam bidang profesinya, kedua tugas kemanusiaan, dan
ketiga tugas dalam bidang kemasyarakatan. Adapun ketiga tugas pokok
tersebut dapatr diuraikan sebagai berikut :
- Tugas dalam bidang profesi meliputi mendidik, mengajar, dan melatih. Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup. Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan pada siswa.
- Tugas guru dalam bidang kemanusiaan meliputi bahwa guru di sekolah harus dapat menjadikan dirinya sebagai orang tua kedua. Ia harus mampu menarik simpati sehingga ia menjadi idola para siswanya. Pelajaran apapun yang diberikannya, hendaknya dapat menjadikan motivasi bagi siswanya dalam belajar
- Tugas guru dalam bidang kemasyarakatan adalah mencerdaskan bangsa menuju kepada pembentukan manusia Indonesia seutuhnya yang berdasarkan Pancasila. Adapun tanggung jawab guru seperti yang dikemukakan oleh Ulwan yaitu: tanggungjawab pendidikan iman, tanggungjawab pendidikan akhlak, tanggungjawab pendidikan fisik, tanggung jawab pendidikan intelektual, tanggung jawab pendidikan fsikis, tanggung jawab pendidikan sosial, tanggung jawab pendidikan seksual.
Di
samping tugas dan tanggungjawab guru di atas, Uzer juga menegaskan
bahwa proses belajar-mengajar dan hasil belajar siswa sebagian besar
ditentukan oleh peranan dan kompetensi guru. Agar peranan guru dalam
proses pembelajaran semakin bermakna Uzer mengemukakan beberapa peranan
yang dianggap paling dominan dan diklasifikasikan sebagai berikut: guru
sebagai demonstrator, guru sebagai pengelola kelas, guru sebagai
mediator dan fasilitator, guru sebagai evaluator.
Sementara
itu Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Tenaga
Kependidikan telah menyatakan bahwa standar kompetensi guru meliputi
tiga komponen kompetensi dan terdiri atas beberapa kemampuan. Secara
keseluruhan standard kompetensi guru terdiri atas 9 (sembilan)
kompetensi, yaitu: (1) komponen kompetensi pengelolaan pembelajaran yang
terdiri atas: penyusunan rencana pembelajaran, pelaksanaan interaksi
belajar mengajar, penilaian prestasi belajar peserta didik, pelaksanaan
tindak lanjut hasil penilaian prestasi belajar peserta didik,
pelaksanaan bimbingan belajar peserta didik, (2) komponen kompetensi
pengembangan potensi terdiri atas: pengembangan diri, pengembangan
profesi., (3) komponen kompetensi penguasaan akademik terdiri atas:
pemahaman wawasan kependidikan, penguasaan bahan kajian akademik.
Berdasarkan
uraian di atas maka secara operasional kinerja guru yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah kemampuan seseorang untuk melakukan suatu
perbuatan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Hal ini tercermin
pada kemampuan guru sehubungan dengan tugasnya dalam proses belajar
dengan indikator sebagai berikut: (1) merencanakan program belajar
mengajar, (2) pelaksanaan proses belajar mengajar, (3) penilaian hasil
belajar, (4) pelaksanaan tindak lanjut hasil penilaian prestasi belajar,
(5) pelaksanaan bimbingan belajar peserta didik.
Dengan
memperhatikan berbagai teori yang berkaitan dengan kinerja seperti
diatas, maka kami menentukan dimensi atau aspek-aspek apa saja yang
dapat mengukur kinerja para guru di jenjang pendidikan dasar yaitu
dimensi kualitas kerja, dimensi kecepatan/ketepatan kerja, dimensi
inisiatif dalam kerja, dimensi kemampuan kerja dan dimensi komunikasi.
Dalam
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam kinerja guru terdiri dari 5
aspek antara lain dilihat dari Kualitas Kerjanya, Kecepatan/Ketepatan
Kerja, Inisiatif dalam Kerja, Kemampuan Kerja dan Komunikasi
Kinerja Guru dan Tunjangan Sertifikasi
Beberapa
hasil kajian terkait antara tunjangan profesi guru dengan kinerjanya
cukup banyak dan hasilnya juga cukup beragam. Ada hasil kajian yang
menyatakan ada hubungan antara tunjangan profesi dengan kinerja, juga
ada yang menyatakan tidak ada hubungannya sama sekali.Tetapi penulis
pernah melakukan riset sederhana di lembaga dimana penulis bekerja hanya
untuk mengetahui dua hal yaitu pertama adakah perbedaan kinerja para
guru SD sebelum memperoleh sertifikasi dan sesudah memperoleh
sertifikasi?. Sebelum memperoleh sertifikasi diasumsikan belum menerima
tunjangan sertifikasi sedang sesudah memperoleh sertifikasi diasumsikan
telah menerima tunjangan profesi. Kedua, Adakah pengaruh tunjangan
profesi yang sudah diterima guru sebagai konsekuensinya setelah menerima
seritifikasi dengan kinerjanya?
Adapun
hasil penelitian yang penulis lakukan menunjukkan bahwa :
pertama,kinerja para guru SD sebelum memperoleh sertifikasi guru
berkisar dari cukup baik sampai baik dengan skor antara 3.00 sampai 4,00
tepatnya 3,3320313. Hal tersebut secara prosentase memang belum optimal
yaitu berkisar antara 60% sampai 70%. Kedua, kinerja para guru SD
sesudah memperoleh sertifikasi guru kisarannya sama dengan sebelum
sertifikasi yaitu berkisar antara cukup baik sampai baik dengan skor
antara 3.00 sampai 4,00 namun persisnya berbeda, terjadi peningkatan
yaitu 3,8516.Hal tersebut secara prosentase memang belum optimal tapi
sudah menunjukkan peningkatan yaitu berkisar antara 70% sampai 80%.
Ketiga perubahan peningkatan kinerja guru SD karena termotivasi untuk
memperoleh sertifikasi guru tidak begitu besar yaitu berkisar antara 10%
sampai 15%. Keempat, berdasarkan analsis statistik terbukti bahwa
adanya perbedaan kinerja guru sebelum dan sesudah sertifikasi dan
kelima,pengaruh adanya program sertifikasi guru terhadap kinerja guru
khususnya guru SD memang ada yaitu hanya sekitar 15% sedang 85%
disebabkan oleh faktor lain selain program sertifikasi guru.
Penelitian
lain yang dilaksanakan di SMA Negeri 2 Pare yang terkait dengan kinerja
para guru SMA, hasilnya menunjukkan bahwa program sertifikasi guru
berpengaruh positif terhadap kinerja guru yang telah tersertifikasi di
SMA Negeri 2 Pare. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai koefisien beta
bernilai positif yaitu sebesar 0.892, sehingga hipotesis yang diajukan
dalam penelitian itu diterima. Berhubung nilai R square yaitu sebesar
0,795 atau 79,5%, artinya bahwa variabel kinerjaguru (Y) dipengaruhi
oleh program sertifikasi guru (X) sebesar 79,5% dan sisanya20,5%
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Berdasarkan hasil penelitian, saran
yang dapat diberikan mengacu pada hasil temuan yang menyatakan bahwa
program sertifikasi guru berpengaruh positif terhadap kinerja guru maka
hendaknya semua guru tetap menjaga dan harus meningkatkan kompetensi
profesionalitas guna terciptanya peningkatan terhadap mutu pendidikan.
Selain itu Kepala Sekolah hendaknya selalu melakukan pengawasan kepada
guru yang telah tersertifikasi agar keprofesionalitasnya/kinerjanya
terus meningkat.
Hasil temuan
sementara dari survei yang dilakukan Persatuan Guru Republik Indonesia
(PGRI) mengenai dampak sertifikasi profesi guru terhadap kinerja guru
yaitu kinerja guru yang sudah disertifikasi belum meningkat secara
signifikan. Kenyataan itu perlu dicermati supaya tujuan peningkatan mutu
dan profesionalisme guru usai sertifikasi benar-benar tercapai, (Unifah
Rosyidi, Ketua Pengurus Besar (PB) PGRI,Jakarta, Selasa 6/10). Dalam
survai tersebut teridentifikasi bahwa peningkatan kinerja guru yang
sudah lolos sertifikasi masih belum memuaskan. Motivasi kerja yang
tinggi justru ditunjukkan oleh guru-guru yang belum mengikuti
sertifikasi dengan harapan segera dapat disertifikasi.
Menurut
Unifah, peningkatan kinerja yang diharapkan dari guru yang sudah
bersertifikasi seperti perubahan pola kerja, motivasi kerja,
pembelajaran, atau peningkatan diri dinilai masih tetap sama atau hanya
sedikit. Guru-guru yang sudah bersertifikat sudah mulai enggan mengikuti
seminar atau pelatihan untuk peningkatan diri. “Kondisi itu memang
sudah diduga sebelumnya bahwa seminar atau pelatihan pendidikan yang
banyak diminati hanya untuk kepentingan sertifikasi, bukan ilmunya,”
kata Unifah yang pernah menjadi Ketua Tim Monitoring dan Evaluasi
Independen mewakili PGRI.
Demi
menjaga mutu guru yang sudah lolos sertifikasi, Unifah menegaskan
perlunya pola pembinaan yang terpadu dan berkelanjutan kepada guru-guru
mulai dari tingkat sekolah, pengawas, dinas pendidikan di daerah, dan
departemen pendidikan nasional. Perlu ada penilaian kinerja yang terukur
dan ketat, tetapi jangan hanya bersifat normatif.
Pada
akhir tahun 2010, PGRI kembali melakukan penelitian tentang dampak
sertifikasi terhadap peningkatan kinerja guru (Kompas, Sabtu,
19/2/2011). Penelitian tersebut memakai metode survai dengan responden
sebanyak 840 guru TK-SMA di 21 provinsi yang tersebar di 84 kabupaten
dan 15% nya adalah guru swasta. Berdasarkan penelitian tersebut
terungkap bahwa program sertifikasi yang dilaksanakan pemerintah dari
tahun 2006 mulai memberikan dampak pada peningkatan kinerja guru. Namun
peningkatan yang cukup signifikan terjadi pada guru-guru yang lolos
sertifikasi lewat pendidikan dan latihan profesi guru.
Peningkatan
kinerja guru yang sudah lolos sertifikasi tersebut terlihat dari
kegairahan mereka dalam meningkatkan kualifikasi pendidikan, kemauan dan
kemampuan membeli buku penunjang sertifikasi, berlangganan surat kabar
atau jurnal, serta kebiasaan menggunakan komputer atau laptop. Selain
itu para guru tetap aktif mengikuti berbagai pelatihan. Dari hasil
penelitian ini juga terungkap bahwa sekitar 97 persen guru yang berhak
menerima tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok menyatakan tidak
pernah mendapat pembayaran tepat waktu dan tidak menentu, ada yang
setiap tiga bulan, enam bulan, bahkan ada yang per tahun. Dan yang lebih
memprihatinkan adalah 14 persen responden mengeluh adanya pemotongan
tunjangan profesi oleh oknum dinas pendidikan daerah.
Hasil
penelitian United Nation Development Programe (UNDP) pada tahun 2007
tentang Indeks Pengembangan Manusia menyatakan Indonesia berada pada
peringkat ke-107 dari 177 negara yang diteliti
(http://mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NDMOjY=, diakses 7 Desember
2008). Indonesia memperoleh indeks 0,728. Dan jika Indonesia dibanding
dengan negara-negara ASEAN yang dilibatkan dalam penelitian, Indonesia
berada pada peringkat ke-7 dari sembilan negara ASEAN. Salah satu unsur
utama dalam penentuan komposit Indeks Pengembangan Manusia ialah tingkat
pengetahuan bangsa atau pendidikan bangsa. Peringkat Indonesia yang
rendah dalam kualitas sumber daya manusia ini adalah gambaran mutu
pendidikan Indonesia yang rendah.
Keterpurukan
mutu pendidikan di Indonesia juga dinyatakan oleh United Nation
Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO)-Badan
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurus bidang pendidikan. Menurut
Badan PBB itu, peringkat Indonesia dalam bidang pendidikan pada tahun
2007 adalah 62 di antara 130 negara di dunia. Education development
index (EDI) Indonesia adalah 0.935, di bawah Malaysia (0.945) dan Brunei
Darussalam (0.965).
Rendahnya mutu
pendidikan di Indonesia juga tercermin dari daya saing di tingkat
internasional. Daya saing Indonesia menurut Wordl Economic Forum,
2007-2008, berada di level 54 dari 131 negara. Jauh di bawah peringkat
daya saing sesama negara ASEAN seperti Malaysia yang berada di urutan
ke-21 dan Singapura pada urutan ke-7.
Berdasarkan
hasil kajian diatas yang relevan, terkait adanya hubungan antara
tunjangan sertifikasi (setelah memperoleh sertifikat) dengan kinerja
guru dapat dipahami dan berawal dari fenomena keterpurukan mutu
pendidikan Indonesia. Untuk itu dilakukan suatu program peningkatan mutu
pendidikan yaitu sertifikasi guru. Program ini lebih diperkuat dengan
produk hukum berupa UUSPN dimana didalamnya keterangan yang berhubungan
sertifikasi guru sangat jelas. Dimulai dengan pengertian sertifikasi
sampai pada tunjangan yang akan diberikan bagi guru-guru yang telah
memiliki sertifikat guru. Namun demikian sampai saat ini ujian
sertifikasinya hanya melalui portopolio tidak diuji langsung kompetensi
setiap guru.
Mendiknas dalam membuka
Seminar dan Pelatihan Guru Menulis di Media Massa yang diadakan oleh
Harian Kompas dan Surya di Surabaya (31/10/2010) mengatakan bahwa
Guru-guru yang sudah lolos sertifikasi umumnya tidak menunjukkan
kemajuan, baik dari segi pedagogis, kepribadian, profesional maupun
sosial. Guru hanya aktif menjelang sertifikasi, tetapi setelah
dinyatakan lolos, kualitas mereka justru menurun (Kompas,
Senin,1/11/2010). Sepanjang 2006 – 2009 terdapat 251.326 guru yang
disertifikasi melalui portofolio, sedangkan 301.732 melalui Pendikan dan
Pelatihan Profesi Guru (PLPG).
Dalam
implementasi sertifikasi guru dalam jabatan tahun 2009, kemampuan
pedagogis guru sertifikasi portofolio sebagian tidak meningkat dan
sebagian lainnya malah menurun. Hanya segelintir guru sertifikasi
portofolio yang mengalami peningkatan. Di kemampuan sosial, profesional,
ataupun kepribadian, tetap saja bagian terbesar adalah mereka yang
stagnan kualitasnya, bahkan menurun.
Pada
guru-guru yang sertifikasi melalui PLPG, umumnya lebih banyak yang
meningkat atau sangat meningkat pada keempat kemampuan tersebut. Kendati
demikian, ada pula sekitar 40% guru hasil PLPG yang tidak maju dalam
kompetensi berkepribadian dan sekitar 10% lainnya pada kemampuan
profesional dan kemampuan sosial. Pemerintah, dalam hal ini Kemendiknas
berharap, seharusnya sertifikasi itu untuk mengukur dan meningkatkan
kualitas guru. Model portofolio yang selama ini berjalan tetap akan
berjalan, namun akan dikaji cara menyaring kualitas guru supaya
tunjangan profesi pendidik (TPP) yang diberikan sesuai dengan
peningkatan kualitas dan kinerja.
Berdasarkan
APBN P 2010, hampir Rp 60 triliun anggaran pendidikan di alokasikan
untuk gaji guru pegawai negeri sipil (PNS), tunjangan khusus untuk guru
di daerah terpencil dan TPP. Untuk TPP saja anggrannya mencapai Rp 16
triliun, sedang untuk tahun 2012, biaya gaji dan tunjangan guru akan
sama dengan keseluruhan anggaran pendidikan tahun 2006, sekitar Rp 80
triliun.
Selain anggaran yang telah
dipersiapkan pemerintah untuk penyelenggaraan program sertifikasi guru
tahun 2011 juga disampaikan seberapa banyak kuota guru-guru yang akan
mengikuti sertifikasi per provinsi maupun per kabupaten/kota. Oleh
karena persekolahan yang dikelola YBHK terletak pada wilayah tiga
provinsi maka data yang dapat ditampilkan hanya tiga provinsi yaitu
Provinsi DKI Jakarta,Provinsi Banten dan Privinsi Jawa Tengah adapun
kuota tersebut adalah sebagai berikut :
Berdasarkan
anggaran dan kuota program sertifikasi guru pemerintah diatas
menunjukkan bahwa pemerintah sangat serius terhadap pengembangan profesi
guru. Persoalannya sekarang, apakah sertifikasi guru semacam itu akan
memberikan dampak positif terhadap kemajuan dunia pendidikan? Bagaimana
memantau kinerja guru yang sudah tersertifikasi agar mampu memberikan
nilai tambah buat kemajuan dunia pendidikan? Kalau memang nyata-nyata
ditemukan sejumlah fakta bahwa sertifikasi guru tidak memberikan imbas
positif terhadap kemajuan dunia pendidikan, perlukah sertifikasi dikaji
ulang? Kalau memang perlu dikaji ulang, adakah upaya lain yang bisa
dilakukan agar peningkatan kesejahteraan guru memberikan imbas positif
terhadap kemajuan dunia pendidikan?
Pada
akhirnya kita akui bersama bahwa tunjangan profesi yang diberikan
kepada guru yang lulus sertifikas sangat berarti untuk meningkatkan
kesejahteraan para guru. Namun yang paling penting adalah bagaimana guru
terus merefleksikan dirinya bahwa tunjangan tersebut adalah untuk
menjadikan guru lebih profesional bukan untuk kepentingan konsumtif dan
bergaya hidup hedonis.Dengan demikian bila kinerja guru sudah baik maka
pendidikan yang bermutu tinggal tunggu waktu saja.
DAFTAR PUSTAKA
- Amran, Tatty S.BB. 1994. Kiat Wanita Meniti Karier. Jakarta: Pustaka Binaman Presindo.
- Vos, Jeannette, Dr The Unlimited Learning Revolution 3-Day High Performance, Action-Packed Workshops,2003
- Nurdin, Muhamad. 2004. Kiat menjadi Guru Profesional. Jogjakarta: Prisma Sophie.
- Surayin. 2004. Tanya Jawab Undang-Undang Republik Inodneia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas. Bandung: Yrama Widya.
- Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen. 2006. Jakarta: Eka Jaya.
- Sanjaya, Wina. 2005. Pembelajaran dalam Impelementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Prenada Media.
- Bafadal, Jurnal Pendidikan Inovatif, Volume 1 Nomor 2 bulan Maret 2006,Balikpapan
- Fajar, Arnie. 2006. Peranan Sertifikasi Guru dalam Meningkatkan Profesionalisme Guru. Dalam Makalah Seminar Nasional Sosialisasi Sertifikasi Guru dalam memaknai UU No. 14 Tahun 2005. Bandung: Disdik Jawa Barat.
- Samani, Muclas dkk. 2006. Mengenai Sertifikasi Guru di Indonesia. Surabaya: SIC.
- Pikiran Rakyat, 6 Oktober 2006 hal. 12
- Dr.E.Mulyasa,M.Pd,Standar Kompetensi & Sertifikasi Guru, Rosdakarya, Bandung, 2007
- Kompas, 19/12/2008
- (http://mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NDMOjY=, diakses 7 Desember 2008)
- Timpe, Kevin, Free Will: Sourcehood dan Alternatif Its (Continuum Studi dalam bidang Filsafat), Amazon.com,2009
- Kompas, Senin, 1 Nopember 2010
- Kompas, Rabu, 22 Desember 2010
- Kompas, Sabtu, 19 Februari 2011
- Kompas, Sabtu, 31 Desember 2011
Diambil dari http://www.ybhk.or.id/2013/05/tunjangan-sertifikasi-dan-kinerja-guru/
0 komentar :
Posting Komentar