Psikologi Agama -- Perkembangan Jiwa Agama Pada Masa Anak – Anak
BAB I
PENDAHULUAN
Manusia
adalah merupakan suatu makhluk yang mempunyai beberapa kebutuhan baik
itu kebutuhan jasmani maupun kebutuhan rohani untuk melangsungkan hidup
dan kehidupannya. Kebutuan-kebutuhan itu ada yang sifatnya apabila tidak dipenuhi bisa berpengaruh pada kehiduan.
Berkenaan
dengan kebutuhan jasmani dan rohani itu ada suatu kebutuhan yang yang
bersifat universal atau setiap manusia mempunyai kebutuhan tersebut atau
dengan kata lain suatu kebutuhan yang sudah merupakan kodrat. Kebutuhan
itu adalah kebutuhan akan agama. Karena dengan adanya kebutuhan ini
manusia akan mengetahui siapa dirinya sesungguhnya, dan untuk apa dia
diciptakan.
Jadi,
kebutuhan agama perlu ditanamkan pada usia tertentu, agar kelak manusia
itu mempunyai suatu pemahaman tentang agama yang baik nantinya. Usia
yang baik atau perkembangan jiwa beragama ini agar lebih jelasnya
pemakalah akan mencoba menguraikannya dalam makalah yang sederhana ini.
Ada
Sekolompok ahli yang berpendapat bahwa timbulnya jiwa keagamaan itu
dari lingkungan, karena anak dilahirkan bukanlah sebagai makhluk yang
religious. Menurut pendapat ini, anak yang baru dilahirkan lebih mirip
binatang dan bahkan anak seekor kera lebih bersifat kemanusiaan daripada
bayi manusia itu sendiri.
Ada
pula sekolompok ahli yang berpendapat bahwa anak sejak dilahirkan telah
membawa fitrah keagamaan. Namun fitrah ini baru berfungsi dikemudian
hari setelah melalui proses bimbingan dan latihan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sumber Jiwa Agama Menurut Para Ahli
Sumber jiwa agama menurut para ahli dapat digolongkan menjadi 2
golongan yaitu yang berpandangan monistik dan yang berpandangan fakulty.
1. Teori Monistik
Menurut
teori monistik, bahwa sumber jiwa beragama adalah tunggal atau terdapat
satu hal yang dominan . Pendapat para ahli yang masuk dalam teori ini
antar lain:
a. Thomas van Aquino
Thomas Aquino mengemukakan bahwa yang menjadi sumber jiwa agama adalah
berpikir. Manusia ber-Tuhan karena manusia menggunakan pikirannya.
b. Frederick Scheilmacher
Sumber jiwa agama berasal dari rasa ketergantungan kepada Yang Maha
Mutlak (sense of Depend) . Dengan adanya ketergantungan kepada Yang Maha
Mutlak, manusia jadi lemah. Karena itu manusia butuh atau bergantung
pada sesuatu yang berada di luar dirinya, yaitu Tuhan.
c. Rudolf Otto
Ia berpendapat bahwa sumber jiwa agama adalah faktor non rasional yang
dipengaruhi perasaan ketuhanan (nominous) sebagai perasaan takjub, kagum
yang hebat dihadapan “Yang Sepenuhnya Lain”. Perasaan ini diistilahkan
sebagai Mysterium tremendum yaitu perasaan takut dan menarik.
d. Sigmun Fred
Pendapatnya mengenai sumber jiwa agama adalah libido sexual. Ide ini
berasal dari mitos Yunani kuno, yaitu pembunuhan Dedipoes pada ayahnya
karena menghalangi hasratnya pada ibunya. Setelah itu timbul perasaan
bersalah. Untuk menghilangkannya, ia melakukan pemujaan, sebagai bentuk
awal kepercayaan pada Tuhan.
2. Teori Fakulty
Menurut teori ini, sumber jiwa agama tidak timbul dari satu faktor
saja. Tetapi berasal dari berbagai unsur. Unsur yang dianggap
paling berpengaruh
adalah cipta (reason), rasa (emotion), dan karsa (will).
Tokoh dari teori ini antara lain:
a. G.M. Straton
Beliau berpendapat bahwa sumber jiwa agama adalah konflik batin. Dalam
kehidupan manusia terus didera berbagai masalah yang membuat batin
mengalami kecemasan, rasa bingung, takut dll. Ketika perasaan ini telah
memuncak dan tak mampu diselesaikan, ia akan mencari pertolongan pada
“Sesuatu Yang Maha Mampu” yaitu Tuhan.
b. Zakiah Drajat
Selain kebutuhan jasmani, manusia juga memiliki kebutuhan rohani,
antara lain kebutuhan kasih sayang, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan
rasa harga diri, kebutuhan rasa bebas, kebutuhan rasa sukses, dan
kebutuhan rasa ingin tahu. Semua kebutuhan tersebut dapat tersalurkan
melalui agama.
c. W.H. Thomas
Melalui teori Faur Wishes, ia mengemukakan yang menjadi sumber jiwa
agama adalah empat macam keinginan untuk selamat, mendapat penghargaan,
ditanggapi dan pengetahuan atau pengalaman. Kesemuanya itu dapat
dipenuhi melalui agama.[1]
B. Sumber Jiwa Agama Menurut Islam
Di dalam Al-qur’an sumber jiwa agama dapat ditemukan dalam surat Ar-Rum
ayat 30 yang berarti: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada
agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah yang menciptakan manusia menurut
fitrah itu. Itulah agama yang lurus, tapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui” (QS. Ar-Rum:30).
Ayat tersebut menyatakan bahwa secara fitrah, manusia adalah makhluk
beragama. Secara naluri manusia pada hakikatnya selalu meyakini adanya
Tuhan Yang Maha Kuasa. Walaupun secara dhohir ada beberapa golongan yang
tidak mengakui adanya Tuhan (atheis), tetapi itu hanya pernyataan
lisan. Secara hakiki ia tetap meyakini adanya kekuatan di luar
kekuatannya yang tidak mungkin dilampaui dan memiliki kekuatan Yang
Maha. Menurut Nurcholis Majid, agama merupakan fitrah munazal yang
diturunkan Allah untuk menguatkan fitrah yang telah ada secara alami.
Dengan fitrah ini manusia tergerak untuk melakukan kegiatan atau ritual
yang diperintahkan oleh Yang Maha Kuasa, yang berbentuk upacara ritual,
kegiatan kemanusiaan, kegiatan berfikir dll. Dalam manusia juga terdapat
naluri untuk mencintai dan dicintai Tuhan. Keinginan ini tidak mungkin
dapat terpenuhi kecuali melalui kegiatan beragama. Bahkan naluri ini
memiliki porsi yang cukup besar dalam jajaran naluri yang dimiliki
manusia.
Menurut Quraish Shihab , sumber jiwa agama seseorang bersumber dari
penemuan rasa kebenaran, keindahan d kebaikan. Hal ini dapat dijabarkan
sebagai berikut. Ketika manusia memperhatikan keindahan alam, maka akan
timbul kekaguman. Kemudian menemukan kebaikan pada alam semesta yang
diciptakan untuk manusia. Kemudian manusia mencari apa yang paling
indah, paling benar dan paling baik yang pada akhirnya jawaban dari
pertanyaan tersebut adalah Tuhan.[2]
C. Perkembangan Jiwa Beragama
Dalam rentang kehidupan terdapat beberapa tahap perkembangan. Menurut
Kohnstamm, tahap perkembangan kehidupan manusia dibagi menjadi lima
periode, yaitu:
1. Umur 0 – 3 tahun, periode vital atau menyusuli.
2. Umur 3 – 6 tahun, periode estetis atau masa mencoba dan masa bermain.
3. Umur 6 – 12 tahun, periode intelektual (masa sekolah)
4. Umur 12 – 21 tahun, periode social atau masa pemuda.
5. Umur 21 tahun keatas, periode dewasa atau masa kematangan fisik dan psikis seseorang.
Elizabeth B. Hurlock merumuskan tahap perkembangan manusia secara lebih lengkap sebagai berikut:
1. Masa Pranatal, saat terjadinya konsepsi sampai lahir.
2. Masa Neonatus, saat kelahiran sampai akhir minggu kedua.
3. Masa Bayi, akhir minggu kedua sampai akhir tahun kedua.
4. Masa Kanak- Kanak awal, umur 2 – 6 tahun.
5. Masa Kanak- Kanak akhir, umur 6 – 10 atau 11 tahun.
6. Masa Pubertas (pra adolesence), umur 11 – 13 tahun
7. Masa Remaja Awal, umur 13 – 17 tahun. Masa remaja akhir 17 – 21 tahun.
8. Masa Dewasa Awal, umur 21 – 40 tahun.
9. Masa Setengah Baya, umur 40 – 60 tahun.
10. Masa Tua, umur 60 tahun keatas.[3]
D. Agama Pada Masa Anak- Anak
Sebagaimana dijelaskan diatas, yang dimaksud dengan masa anak- anak
adalah sebelum berumur 12 tahun. Jika mengikuti periodesasi yang
dirumuskan Elizabeth B. Hurlock, dalam masa ini terdiri dari tiga
tahapan:
1. 0 – 2 tahun (masa vital)
2. 2 – 6 tahun (masa kanak- kanak)
3. 6 – 12 tahun (masa sekolah)
Anak mengenal Tuhan pertama kali melalui bahasa dari kata- kata orang
yang ada dalam lingkungannya, yang pada awalnya diterima secara acuh.
Tuhan bagi anak pada permulaan merupakan nama sesuatu yang asing dan
tidak dikenalnya serta diragukan kebaikan niatnya. Tidak adanya
perhatian terhadap tuhan pada tahap pertama ini dikarenakan ia belum
mempunyai pengalaman yang akan membawanya kesana, baik pengalaman yang
menyenangkan maupun yang menyusahkan. Namun, setelah ia menyaksikan
reaksi orang- orang disekelilingnya yang disertai oleh emosi atau
perasaan tertentu yang makin lama makin meluas, maka mulailah
perhatiannya terhadap kata tuhan itu tumbuh. Perasaan si anak terhadap
orang tuanya sebenarnya sangat kompleks. Ia merupakan campuran dari
bermacam- macam emosi dan dorongan yang saling bertentangan. Menjelang
usia 3 tahun yaitu umur dimana hubungan dengan ibunya tidak lagi
terbatas pada kebutuhan akan bantuan fisik, akan tetapi meningkat lagi
pada hubungan emosi dimana ibu menjadi objek yang dicintai dan butuh
akan kasih sayangnya, bahkan mengandung rasa permusuhan bercampur
bangga, butuh, takut dan cinta padanya sekaligus.
Menurut Zakiah Daradjat, sebelum usia 7 tahun perasaan anak terhadap
tuhan pada dasarnya negative. Ia berusaha menerima pemikiran tentang
kebesaran dan kemuliaan tuhan. Sedang gambaran mereka tentang Tuhan
sesuai dengan emosinya. Kepercayaan yang terus menerus tentang Tuhan,
tempat dan bentuknya bukanlah karena rasa ingin tahunya, tapi didorong
oleh perasaan takut dan ingin rasa aman, kecuali jika orang tua anak
mendidik anak supaya mengenal sifat Tuhan yang menyenangkan. Namun pada
pada masa kedua (27 tahun keatas) perasaan si anak terhadap Tuhan
berganti positif (cinta dan hormat) dan hubungannya dipenuhi oleh rasa
percaya dan merasa aman.[4]
E. Tahap Perkembangan Beragama Pada Anak.
Sejalan dengan kecerdasannya, perkembangan jiwa beragama pada anak dapat dibagi menjadi tiga bagian:
1. The Fairly Tale Stage (Tingkat Dongeng).
Pada tahap ini anak yang berumur 3 – 6 tahun, konsep mengeanai Tuhan
banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi, sehingga dalam menanggapi
agama anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oelh
dongeng- dongeng yang kurang ,masuk akal. Cerita akan Nabi akan
dikhayalkan seperti yang ada dalam dongeng- dongeng.
Pada usia ini, perhatian anak lebih tertuju pada para pemuka agama
daripada isi ajarannya dan cerita akan lebih menarik jika berhubungan
dengan masa anak-anak karena sesuai dengan jiwa kekanak- kanakannya.
Dengan caranya sendiri anak mengungkapkan pandangan teologisnya,
pernyataan dan ungkapannya tentang Tuhan lebih bernada individual,
emosional dan spontan tapi penuh arti teologis.
2. The Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan)
Pada tingkat ini pemikiran anak tentang Tuhan sebagai bapak beralih
pada Tuhan sebagai pencipta. Hubungan dengan Tuhan yang pada awalnya
terbatas pada emosi berubah pada hubungan dengan menggunakan pikiran
atau logika.
Pada tahap ini teradapat satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa anak
pada usia 7 tahun dipandang sebagai permulaan pertumbuhan logis,
sehingga wajarlah bila anak harus diberi pelajaran dan dibiasakan
melakukan shalat pada usia dini dan dipukul bila melanggarnya.
3. The Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang tinggi,
sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang
diindividualistik ini terbagi menjadi tiga golongan:
a) Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi.
b) Konsep ketuhanan yang lebih murni, dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal (perorangan).
c)
Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik, yaitu agama telah menjadi
etos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Berkaitan
dengan masalah ini, imam bawani membagi fase perkembangan agama pada
masa anak menjadi empat bagian, yaitu:
a. Fase dalam kandungan
Untuk memahami perkembangan agama pada masa ini sangatlah sulit,
apalagi yang berhubungan dengan psikis ruhani. Meski demikian perlu
dicatat bahwa perkembangan agama bermula sejak Allah meniupkan ruh pada
bayi, tepatnya ketika terjadinya perjanjian manusia atas tuhannya,
b. Fase bayi
Pada fase kedua ini juga belum banyak diketahui perkembangan agama pada
seorang anak. Namun isyarat pengenalan ajaran agama banyak ditemukan
dalam hadis, seperti memperdengarkan adzan dan iqamah saat kelahiran
anak.
c. Fase kanak- kanak
Masa ketiga tersebut merupakan saat yang tepat untuk menanamkan nilai
keagamaan. Pada fase ini anak sudah mulai bergaul dengan dunia luar.
Banyak hal yang ia saksikan ketika berhubungan dengan orang-orang orang
disekelilingnya. Dalam pergaulan inilah ia mengenal Tuhan melalui
ucapan- ucapan orang disekelilingnya. Ia melihat perilaku orang yang
mengungkapkan rasa kagumnya pada Tuhan. Anak pada usia kanak- kanak
belum mempunyai pemahaman dalam melaksanakan ajaran Islam, akan tetapi
disinilah peran orang tua dalam memperkenalkan dan membiasakan anak
dalam melakukan tindakan- tindakan agama sekalipun sifatnya hanya
meniru.
d. Masa anak sekolah
Seiring dengan perkembangan aspek- aspek jiwa lainnya, perkembangan
agama juga menunjukkan perkembangan yang semakin realistis. Hal ini
berkaitan dengan perkembangan intelektualitasnya yang semakin
berkembang.[5]
F. Sifat agama pada anak
Sifat keagamaan pada anak dapat dibagi menjadi enam bagian:
1. Unreflective (kurang mendalam/ tanpa kritik).
Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam, cukup sekedarnya
saja. Dan mereka merasa puas dengan keterangan yang kadang- kadang
kurang masuk akal. Menurut penelitian, pikiran kritis baru muncul pada
anak berusia 12 tahun, sejalan dengan perkembangan moral.
2. Egosentris
Sifat egosentris ini berdasarkan hasil ppenelitian Piaget tentang
bahasa pada anak berusia 3 – 7 tahun. Dalam hal ini, berbicara bagi
anak-anak tidak mempunyai arti seperti orang dewasa. Pada usia 7 – 9
tahun, doa secara khusus dihubungkan dengan kegiatan atau gerak- gerik
tertentu, tetapi amat konkret dan pribadi. Pada usia 9 – 12 tahun ide
tentang doa sebagai komunikasi antara anak dengan ilahi mulai tampak.
Setelah itu barulah isi doa beralih dari keinginan egosentris menuju
masalah yang tertuju pada orang lain yang bersifat etis.
3. Anthromorphis
Konsep anak mengenai ketuhanan pada umumnya berasal dari pengalamannya.
Dikala ia berhubungan dengan orang lain, pertanyaan anak mengenai
(bagaimana) dan (mengapa) biasanya mencerminkan usaha mereka untuk
menghubungkan penjelasan religius yang abstrak dengan dunia pengalaman
mereka yang bersifat subjektif dan konkret.
4. Verbalis dan Ritualis
Kehidupan agama pada anak sebagian besar tumbuh dari sebab ucapan
(verbal). Mereka menghafal secara verbal kalimat- kalimat keagamaan dan
mengerjakan amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman mereka
menurut tuntunan yang diajarkan pada mereka. Shalat dan doa yang
menarik bagi mereka adalah yang mengandung gerak dan biasa dilakukan
(tidak asing baginya).
5. Imitatif
Tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak pada dasarnya diperoleh
dengan meniru. Dalam hal ini orang tua memegang peranan penting.
Pendidikan sikap religius anak pada dasarnya tidak berbentuk pengajaran,
akan tetapi berupa teladan
6. Rasa heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan pada anak.
Berbeda dengan rasa heran pada orang dewasa, rasa heran pada anak belum
kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum pada keindahan lahiriah saja.
Untuk itu perlu diberi pengertian dan penjelasan pada mereka sesuai
dengan tingkat perkembangan pemikirannya. Dalam hal ini orang tua dan
guru agama mempunyai peranan yang sangat penting.[6]
G. Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Agama Pada Masa Ank-anak.
Perkembangan agama pada masa anak terjadi melalui pengalaman hidupnya
sejak kecil dalam keluarga, disekolah dan dalam masyarakat. Lingkungan
banyak membentuk pengalaman yang bersifat religius, (sesuai dengan
ajaran agama) karena semakin banyak unsur agama maka sikap, tindakan dan
kelakuan dan caranya menghadapi hidup akan sesuai dengan ajarana agama.
Setiap orang tua dan semua guru ingin membina anak agar menjadi orang
yang baik, mempunyai kepribadian yang kuat dan sikap mental yang sehat
dan yang terpuji. Semua itu dapat diusahakan melalui pendidikan, baik
yang formal maupun yang non formal. Setiap pengalaman yang dilalui anak
baik melalui penglihatan, pendengaran, maupun prilaku yang diterimanya
akan ikut menentukan pembinaan pribadnya.
Masa pendidikan di SD merupakan kesempatan pertama yang sangat baik,
untuk membina pribadi anak setelah orang tua, sekolah dasar merupakan
dasar pembinaan pribadi dan mental anak. Apabila pembinaan pribadi dan
mental anak terlaksana dengan baik, maka si anak anak memasuki masa
remaja dengan mudah dan pembinaan pribadi dimasa remaja itu tidak akan
mengalami kesulitan.
Pendidikan anak di sekolah dasarpun, merupakan dasar pula bagi
pembinaan sikap dan jiwa agama pada anak. Apabila guru agama di SD mampu
membina sikap positif terhadap agama dan berhasil dalam membentuk
pribadi dan akhlak anak, maka untuk mengembangkan sikap itu pada masa
remaja muda dan sianak telah mempunyai pegangan atau bekal dalam
menghadapi berbagai goncangan yang biasa terjadi pada masa remaja.
Anak-anak akan bersifat sama sopan dan hormatnya kepada orang lain
seperti kita kepada mereka, jika dibesarkan dilingkungan rumah dimana
mereka diperlakukan dengan penuh kewibawaan, kebaikan hati dan rasa
hormat, akan besar pengaruhnya terhadap cara mereka memperlakukan orang
lain. Mereka akan sampai kepada keyakinan bahwa begitulah cara mereka
harus memperlakukan orang lain. Mereka juga cenderung memperlakukan kita
dengan cara melihat kita memperlakukan orang lain diluar keluarga.
Pendidikan agama islam memberikan dan mensucikan jiwa serta mendidik
hati nurani dan mental anak-anak dengan kelakuan yang baik-baik dan
mendorong mereka untuk melakukan pekerjaan yang mulia. Karena pendidikan
agama islam memelihara anak-anak supaya melalui jalan yang lurus dan
tidak menuruti hawa nafsu yang menyebabkan nantinya jatuh ke lembah
kehinaan dan kerusakan serta merusak kesehatan mental anak. Adapun
pendidikan agama islam yang perlu di terapkan kepada anak sejak usia
dini antara lain
1. Membisikkan Kalimat Tauhid
Dalam hal ini sejak anak lahir kedunia tidak lain yang dibisikkan atau
diperdengarkan setelah keluar dari rahim ibunya kecuali “Allah” dengan
menggunakan azan di telinga kanan untuk anak laki-laki dan iqamat di
telinga kiri untuk anak perempuan, karena pendidikan agama islam
membersihkan hati dan mensucikan jiwa agar anak-anak nantinya tetap
patuh perintah Allah.
2. Mengajari Akhlak yang Mulia
Dengan mengajari anak akhlak yang mulia atau yang terpuji bukan hanya
semata untuk mengetahuinya saja, melainkan untuk mempengaruhi jiwa sang
anak agar supaya beraklak dengan akhlak yang terpuji. Karena pendidikan
agama islam dalam rumah tangga sangat berpengaruh besar dalam rangka
membentuk anak yang berbudi pekerti yang luhur dan memiliki mental yang
sehat.
3. Mengislamkannya atau mengkhitankannya
Disebutkan dalam Assahhain, dari hadits Abi Hurairah ra, berkata :
“Rasululullah Saw. Bersabda : “Fitrah itu ada lima (Khitan, mencukur
buku di bawah perut, mencukur kumis, memotong kuku dan mencabut buku
ketiak)”. Disini khitan ditempatkan ditempat sebagai ciri fitrahnya
seseorang yang berdasarkan pada kelemah lembutan agama yang dibawa oleh
Nabi Ibrahim, dimana ia diperintahkan untuk melakukannya pada waktu ia
mencapai usia 80 tahun.
Dengan demikian sebagai orang tua yang mempunyai tanggung jawab yang
besar terhadap anak-anaknya, agar tidak menyia-nyiakan amanah tersebut,
orang tualah sebagai pembina pertama dalam hidup dan kehidupan si anak,
olehnya itu anak perlu berbakti dan hormat serta berakhlak mulia
terhadap kedua orang tuanya.
4. Upaya Melestarikan Kesehatan Mental Anak Melalui Pendidikan Agama Islam
Dalam upaya melestarikan kesehatan mental setiap anak / orang harus
mendapatkan pendidikan dan bimbingan dan penyuluhan kejiwaan. Dengan
demikian mereka membutuhkan sistem persekolahan yang sesuai dengan
kepribadian dan perkembangan anak. Perlunya diketahui bahwa kesahatan
mental dapat dicapai melalui kehidupan jadi rukun dan damai diantaran
kelompok sosial dengan saling memberi dukungan fisik, material maupun
moral untuk mencapai ketenangan hidup melalui agama, dapat meredam
gejala jiwa, dan perlu dilakukan / dilaksanakan secara konsisten dan
produktif.
Adapun cara untuk menjaga kesehatan mental anak melalui pendidikan agama islam antara lain :
• Menanamkan Rasa Keagamaan terhadap Anak.
Dengan memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang agama, agar anak
dapat mengenal lebih dekat kepada sang pemberi petunjuk yaitu Allah Swt.
Agar apabila suatu saat seorang anak mengalami atau mendapatkan masalah
dalam hidupnya tidak timbul frustasi pada anak tersebut yang dapat
menimbulkan gangguan jiwa dan kesehatan mental paa tersebut dengan
pengenalan agama lebih dekat.
• Membimbing dan Mengarahkan Perkembangan Jiwa Anak Melalui Pendidikan Agama Islam.
Membimbing dan mengarahkan perkembangan jiwa anak dapat diusahakan
melalui pembentukan pribadi dengan pengalaman keagamaan terhadap diri
anak baik dalam lingkungan keluarga, lingkungan sekolah maupun
masyarakat, lingkungan yang banyak membentuk pengajaran yang bersifat
agama (sesuai dengan ajaran agama islam). Akan membentuk pribadi,
tindakan dan kelakuan serta caranya menghadapi hidup akan sesuai dengan
ajaran agama yang kesemuanya itu mengacu pada perkembangan jiwa dan
pembentukan mental yang sehat dalam diri si anak.
• Menanamkan Etika Yang Baik Terhadap Diri Anak Berdasarkan Norma-Norma Keagamaan.
Perkembangan agama pada anak sangat ditentukan oleh pendidikan dan
pengalaman yang dilaluinya, terutama pada masa pertumbuhan yang pertama
(masa anak) dari umur 0 – 12 tahun.
Masa kanak-kanak merupakan masa yang menentukan pertumbuhan dan
perkembangan psikologi dan agama si anak. Oleh karena itu pada masa ini
orang tua harus ekstra ketat dalam mendidik anaknya misalnya kita
membiasakan anak untuk menggunakan tangan kanan dalam mengambil,
memberi, makan dan minum, menulis, menerima tamu dan mengajarkannya
untuk selalu memulai pekerjaan dengan membaca Basmalah serta harus
diakhiridengan membaca Hamdalah.[7]
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Sumber
jiwa agama menurut para ahli dapat digolongkan menjadi 2 golongan yaitu
yang berpandangan monistik dan yang berpandangan fakulty.
1. Teori Monistik
Menurut teori monistik, bahwa sumber jiwa beragama adalah tunggal atau terdapat satu hal yang dominan .
2. Teori Fakulty
Menurut teori ini, sumber jiwa agama tidak timbul dari satu faktor
saja. Tetapi berasal dari berbagai unsur. Unsur yang dianggap paling
berpengaruh adalah cipta (reason), rasa (emotion), dan karsa (will).
Sejalan dengan kecerdasannya, perkembangan jiwa beragama pada anak dapat dibagi menjadi tiga bagian:
1. The Fairly Tale Stage (Tingkat Dongeng).
2. The Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan)
3. The Individual Stage (Tingkat Individu)
Sifat keagamaan pada anak dapat dibagi menjadi enam bagian:
1. Unreflective (kurang mendalam/ tanpa kritik).
2. Egosentris
3. Anthromorphis
4. Verbalis dan Ritualis
5. Imitatif
6. Rasa heran
DAFTAR PUSTAKA
Aliah B. Purwakanta Hasan, Psikologi Perkembangan Islami, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002
Daradjat Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1970.
Drs H. Ahmad Fauzi, Psikologi Umum, Pustaka setia Bandung, 2004
H. Ramayulis, Prof. Dr, Pengantar Psikologi Agama, Kalam Mulia, Jakarta, 2002.
Julysyawaladi.blogspot.com/2010/08/sumber-jiwa-agama-dan-perkembangan.html (diakses: 15 oktober 2011, 20.13 WIB)
WE Maramis, Ilmu Kedoteran Jiwa, Airlangga University Press, 1980.
[1] Julysyawaladi.blogspot.com/2010/08/sumber-jiwa-agama-dan-perkembangan.html (diakses: 15 oktober 2011, 20.13 WIB)
[2] Aliah B. Purwakanta Hasan, Psikologi Perkembangan Islami, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002. Hal 20
[3] Ibid. hal 45
[4] Prof Dr. H. Ramayulis, Psikologi Agama , Kalam Mulia 2004. Hal 34
[5] WE Maramis, Ilmu Kedoteran Jiwa, Airlangga University Press, 1980. Hal 22-23
[6] Drs H. Ahmad Fauzi, Psikologi Umum, Pustaka setia Bandung, 2004
[7] Daradjat Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1970.
Sumber : http://shi-senhikari.blogspot.com/2011/12/psikologi-agama-perkembangan-jiwa-agama.html
0 komentar :
Posting Komentar