PROFESIONALISME
GURU AGAMA
KHMA. Sahal Mahfudh
DR.KH. MA. Sahal Mahfudh |
MASALAH pendidikan, khususnya yang menyangkut agama Islam selalu menghadapi
tantangan dan problematika yang tidak kunjung henti. Ia senantiasa aktual
dengan berbagai perkembangan dan perubahan kehidupan manusia, karena ia
memang merupakan kebutuhan inheren bagi kehidupan manusia sebagai sarana
mempertahankan "karamah" yang diberikan oleh Allah. Meskipun karamah manusia
diberikan menyatu dengan eksistensinya, secara fungsional ia tidak bisa
berkembang secara alami, melainkan harus melalui proses. Satu-satunya jalan
untuk itu adalah melalui pendidikan.
Manusia menurut Rasulullah dilahirkan di atas fitnah, suci dan bersih.
Ketika masih di alam arwah, ia telah berikrar mengakui ketuhanan Allah.
Tetapi Rasulullah sendiri kemudian mengisyaratkan kemungkinan adanya perubahan,
tergantung bagaimana orang tuanya mendidik dan mengarahkan. Pendidikan
agama Islam paling tidak mempunyai fungsi esensial, yaitu mempertahankan
eksistensi fitrah manusia itu dan mengembangkannya sedemikian rupa.
PENDIDIKAN Islam pada dasarnya adalah proses pembentukan watak, sikap
dan perilaku Islami yang meliputi iman (aqidah), Islam (syari'at) dan ihsan
(akhlaq, etika dan tasawuf). Tujuan pokoknya adalah mempersiapkan peserta
didik agar mampu menjadi khalifah Allah yang akram (mulia) yang berarti
lebih bertakwa kepada Allah dan yang shalih dalam arti mampu mengelola,
mengembangkan dan melestarikan alam.
Fungsi mereka sebagai khalifah adalah pertama, ibadatullah baik
sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial, di mana di dalam komunitas
berbangsa, mereka juga dituntut oleh ajaran Islam untuk memberikan manfaat
kepada orang lain dalam kerangka ibadah sosial. Fungsi kedua ‘imaratul
ardli, yakni membangun bumi ini dengan berbagai upaya untuk menunjang
kebutuhan hidup sebagai sarana melakukan ibadah dalam rangka mencapai tujuan
hidupnya, yakni sa'adatud darain.
Selain itu, dari sudut pandang yang lain, pendidikan keagamaan merupakan
manifestasi dan upaya peningkatan kualitas kemanusiaan, sebagaimana dirumuskan
dalam tujuan pendidikan nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, manusia yang beriman dan takwa
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan,
kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta
bertanggung jawab.
Rumusan itu jelas menunjukkan, kualitas manusia Indonesia yang beriman
dan bertakwa serta berbudi luhur menupakan tujuan yang mesti dicapai melalui
pendidikan keagamaan. Sementara itu, UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, memilahkan pendidikan agama menjadi dua bentuk yang berbeda,
yaitu:
- Bidang studi pendidikan agama sebagai bagian dari kurikulum/program lembaga pendidikan umum.
- Lembaga-lembaga pendidikan dengan ciri khas keagamnan, yang dikelola oleh pemerintah mau pun masyarakat.
Pada bentuk pertama, di samping pendidikan agama mempunyai porsi yang relatif
kecil, sering pula dipahami dan diimplementasikan sebagai pengajaran agama.
Dengan metode tertentu, pengajaran agama itu bersifat kognitif dan kecil
sekali sumbangannya dalam membentuk kepribadian peserta didik.
Bila pendidikan dipahami sebagai suatu tindakan sadar untuk membentuk
watak dan tingkah laku secara sistematis, terencana dan terarah, maka pendidikan
agama Islam harus merupakan sistem yang mengarah pada terbentuknya karakter,
sikap dan perilaku peserta didik yang sarat dengan nilai-nilai Islam. Dengan
kata lain, pendidikan Islam seharusnya bisa mengembangkan kualitas keberagamaan
Islam baik yang bersifat affektif, kognitif maupun psiko-motorik. Pada
gilirannya, pendidikan Islam merupakan produk pengembangan kepribadian
muslim Indonesia yang sedang menghadapi berbagai bentuk transformasi.
Pengembangan kepribadian muslim yang berarti proses interaksi dari serangkaian
kegiatan dan pendukung pendidikan itu, kini menghadapi sejumlah tantangan.
Tantangan yang paling mendasar adalah keterkaitan pendidikan dengan kebutuhan
tenaga kerja. Pendidikan selalu dianggap tidak menjanjikan terbentuknya
manusia produktif, manusia siap kerja, mampu bersaing dalam mencapai taraf
hidup yang memadai. Ini berarti bahwa pertimbangan praktis dan pragmatis
lebih mendominasi kehidupan, termasuk juga pendidikan, dengan mengabaikan
pertimbangan idealistik spiritual.
Pengembangan sebagai proses seperti dimaksud di atas, dititiktekankan
pada perubahan sikap dan wawasan sesuai dengan perkembangan komunitas yang
ada. Pengembangan itu harus bisa mendinamisasi gagasan, ide baru dan penyebarannya
dengan pendekatan yang tepat. Dan sebagai program, ia harus merupakan kegiatan
yang terencana dan tertanam dalam suatu bingkai manajerial yang profesional.
RASULULLAH bersabda, "Sesungguhnya aku diutus sebagai pengajar”.
Dalam hadits lain Rasulullah menegaskan, "Barang siapa mendidik seorang
anak kecil hingga ia mampu mengucapkan kalimat laa ilaaha illa Allah, maka
Allah tidak akan menghisabnya kelak". Sementara Allah dalam surat al-Jumu'ah
ayat 2 berfirman: "Dialah yang rnengutus kepada kaum yang buta huruf
seorang Rasul di antara mereka yang rnembacakan ayat-ayatNya kepada mereka,
rnensucikan rnereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah. Dan
benar-benar mereka sebelumnya dalam kesesatan yang nyata".
Meskipun pengajar dan pendidik mempunyai konotasi yang berbeda, namun
masing-masing mempunyai fungsi yang seharusnya tidak bisa terpisah dari
guru. Rangkaian dua hadits dan ayat Al-Qur’an di atas, secara esensial
menunjukkan hal itu. Dari sini, banyak ulama yang kemudian merumuskan kriteria
guru, baik dan sifat, sikap dan kepribadian serta wataknya.
Secara umum, paling tidak seorang guru harus memiliki beberapa sifat,
yaitu: zuhud, ikhlas, suka mema’afkan, memahami tabi'at murid, berkepribadian
yang bersih, bersikap sebagaimana bapak terhadap anaknya dan menguasai
mata pelajaran yang menjadi bidangnya.
Lebih lanjut, Imam al-Ghazali mengembangkan rumusan tersebut, sebagairnana
termaktub dalam Ihya ‘Ulumuddin berikut ini. Pertama, kerja mengajar
dan membimbing/mendidik adalah tugas seorang guru. Sifat pokok yang harus
dimiliki guru adalah kasih sayang dan lemah lembut. Pergaulan murid dengan
guru akan melahirkan sikap percaya kepada diri sendiri dan rasa tenteram
bersama gurunya. Hal ini sangat membantu murid menyerap pengetahuan sebanyak-banyaknya.
Karenanya, guru hendaknya berperan sebagai ayah atas anak didiknya, bahkan
hak guru atas anak didiknya lebih daripada hak ayah atas anaknya.
Kedua, meminta upah dalam mengajar adalah sesuatu yang perlu ditinjau
lebih lanjut. Dalam sejarah Yunani Kuno, seorang guru yang mendapat gaji
ternyata tidak mendapatkan penghormatan yang cukup dari masyarakat. Dalam
hal ini al-Ghazali berkata: “Barang siapa rnencari harta dengan ilmu pengetahuan,
maka ia seperti orang yang mengusap alat penggosok dengan mukanya sendiri
untuk membersihkannya. Maka terjadilah penjungkirbalikan, majikan menjadi
pelayan dan pelayan menjadi majikan". Rumusan ini dalam konteks kekinian
memang akan menimbulkan kontroversi berkepanjangan, kemudian terjadilah
lingkaran setan yang tak pernah selesai. Pertimbangan bahwa guru adalah
manusia biasa yang secara ekonomis tidak bisa tidak harus mencari nafkah
bagi kehidupannya, adalah merupakan pemikiran tersendiri yang tidak bisa
diabaikan. Ia menuntut kita, sebagai insan pendidik untuk merenungkannya
lebih lanjut.
Ketiga, hendaknya guru mampu menjadi pembimbing yang jujur dan terpercaya
bagi muridnya. Juga hendaknya ia senantiasa menanamkan keyakinan pada hati
murid bahwa menuntut ilmu hanyalah semata untuk mendekatkan diri kepada
Allalh, bukan kesombongan, mencari harta dan kedudukan, pamer ilmu, bersilat
lidah, bertengkar dan berdebat.
Keempat, guru tidak layak menyebarluaskan kekurangan dan kesalahan murid
karena akan merangsang timbulnya protes murid secara demonstratif. Mereka
akan dihantui rasa bersalah yang bisa membuat mereka protes sebagai cara
mempertahankan diri. Arahan, teguran dan juga bimbingan guru dapat disampaikan
dengan penuh kasih sayang tanpa emosi.
Kelima, karena guru adalah teladan yang diikuti oleh murid, maka sejadini
ia harus memiliki keluhuran budi dan toleransi. Konsekuensinya, seorang
guru harus menghormati ilmu-ilmu di luar spesialisasinya. Begitu pula ia
tidak boleh fanatik terhadap disiplin ilmunya sendiri.
Keenam, guru harus menyesuaikan kemampuan intelektual murid dalam menyampaikan
pengajaran. Nabi Isa AS pernah bersabda: “Jangan mengalungkan seuntai
kalung mutiara kepada seekor babi". Dan Allah sendiri menegaskan: "Dan
janganlah kamu memberikan kepada orang yang belum sempurna harta mereka,
apa yang ada pada kekuasaanmu".
Ketujuh, guru harus mendalami faktor-faktor kejiwaan sang murid. Karena
itu tidak layak bagi seorang guru untuk menyampaikan pikiran-pikiran kontroversial
yang bisa membingungkan murid, utamanya dalam mengajarkan ilrnu-ilmu agama.
Kedelapan, di samping sebagai orang yang ‘alim, guru juga harus
'amil. Dalam hal ini, guru harus mempunyai kesungguhan untuk merealisasikan
apa yang diajarkannya, tidak hanya sanggup berbicara saja. Dalam surat
al-Baqarah ayat 44 Allah bersabda: "Apakah engkau suruh orang berbuat
baik, sementara engkau lupakan dirimu sendiri”.
***
DARI sudut pedagogis, guru yang ideal itu mempunyai fungsi ganda, yaitu
sebagai obyek (terdidik) dan sebagai subyek (pendidik).
Kedua fungsi yang melekat pada diri guru ini harus sama-sama aktif.
Oleh karenanya guru dalam posisi atau fungsi apapun dituntut untuk berwatak
kreatif, produktif, dan inovatif. Dalam setiap kondisi dan situasi ia haruslah
selalu dalam proses yang dinamis, tidak monoton. Sifat monoton dapat menumbuhkan
situasi statis.
Di sini peningkatan kemampuan seorang guru jelas hanya akan tergantung
pada sejauh mana proses tersebut di atas dapat diwujudkan secara terus
menerus untuk mencapai suatu tujuan yang terkait dengan bidang studi mau
pun lembaga (sekolah) tempat ia mengajar. Sebagai guru agama Islam ia terikat
oleh tujuan bidang studinya, baik tujuan instruksional mau pun tujuan umum
termasuk tujuan pribadi. Yang dimaksud tujuan pribadi adalah penanaman
atau sosialisasi karakter atau kepribadian (syakhshiyah), sehingga
dengan demikian seorang guru agama Islam dituntut berkarakter yang baik.
Watak bagi seorang guru agama Islam seperti di atas sangat berpengaruh
pada pembentukan kepribadian anak didik yang Islami, yaitu kepribadian
yang diorientasikan pada al-akhlaq al-karimah dan keimanan serta keislaman
yang dapat mempengaruhi sikap dan perilaku anak didik dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam hal ini pendekatan yang paling penting adalah pendekatan keteladanan
seorang guru. Unsur pendidikan di sini harus lebih dominan daripada unsur
pengajaran, karena pembentukan watak karakteristik yang disebut kepribadian
lebih dipengaruhi oleh cara pendekatan persuasif yang berbeda-beda, berdasarkan
pluralitas latar belakang ego para peserta didik.
Pembentukan karakter murid kurang tepat menggunakan pendekatan instruksional
dengan metodologi pengajaran tunggal. Di sini sering terjadi kerancuan
antara pendekatan pendidikan yang mengarah pada pembentukan kepribadian
dengan pendekatan pengajaran yang mengarah pada pembentukan intelektualitas.
Akibatnya ialah terbentuknya intelektual yang tidak berkepribadian atau
terbentuknya kepribadian tanpa daya intelektual. Maka keterpaduan antara
keduanya harus ditingkatkan agar terbentuk manusia yang qowiyyun amiinun.
Manusia al-amin yang sarat dengan kepribadian Islami sekaligus manusia
al-qowiy yang sarat dengan intelektualitas, potensi dan profesi.
0 komentar :
Posting Komentar