PENDIDIKAN AGAMA DI SEKOLAH UMUM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pendidikan merupakan sebuah yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan umat manusia. Karenanya manusia harus senantiasa mencari dan menuntut ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan salah satu factor penting yang mengharuskan manusia untuk selalu mengembangkan keilmuannya agar dapat beradaptasi di dunia modern yang kaya akan kemajuan ilmu dan teknologi.
Seiring dengan kemajuan jaman dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia globalisasi maka perlu juga peningkatan pendidikan islam (agama) agar kita selaku umat islam senantiasa berada pada jalan yang diridhoi Allah SWT. serta tidak terpengaruh oleh budaya dan gaya hidup orang-orang barat yang secara terang-terangan sudah mewabah kepada penduduk islam dunia khususnya di Indonesia.
Sekolah merupakan sarana dan tempat menuntut ilmu bagi para peserta didik, juga tempat memperkaya dan memperluas keilmuan peserta didik. Tapi yang ditanyakan adalah, bagaimanakan pendidikan islam yang ada di sekolah? Apakan ada pengaruhnya pendidikan islam di sekolah? Berapa jamkah mata pelajaran pendidikan agama islam dilaksakan di sekolah?. Perlu kita analisis bagaimana keberadaan pendidikan islam di sekolah-sekolah baik negeri maupun swasta.
Dalam makalah ini kami membahas tentang isu-isu pendidikan islam di sekolah umum. Bagaimanakah bentuk pengajaran pendidikan islam di sekolah dan peranan pendidikan islam di sekolah dan lain sebagainya.
B. Identifikasi Masalah
1. Pendidikan Agama di Sekolah
2. Peranan Pendidikan Islam di Sekolah
3. Problematika Pendidikan Islam di Sekolah
4. Isu-Isu Pendidikan Islam di Sekolah Umum
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidikan Agama di sekolah Umum
Pendidikan agama Islam pada hakikatnya adalah upaya transfer nilai-nilai agama, pengetahuan dan budaya yang dilangsungkan secara berkesinambungan sehingga nilai-nilai itu dapat menjadi sumber motivasi dan aspirasi serta tolok ukur dalam perbuatan dan sikap maupun pola berpikir. Sementara tekad bangsa Indonesia yang selalu ingin kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen sangat kuat. Berdasarkan tekad itu pulalah maka kehidupan beragama dan pendidikan agama khususnya semakin mendapat tempat yang kuat dalam organisasi dan struktur pemerintahan.
Kelahiran pendidikan agama yang sekarang ini kita kenal menjadi mata pelajaran berakar dari pendidikan sekuler minus agama yang dikembangkan pemerintah penjajah. Usaha menghidupkan kembali eksistensi pembelajaran agama ini menemukan momentumnya setelah terbit UU No. 4 Tahun 1950 dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Menteri Agama tanggal 16 Juli 1951 yang menjamin adanya pendidikan agama di sekolah umum.
Pembangunan Nasional memang dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia dan masyarakat Indonesia seutuhnya. Hal ini berarti adanya keserasian, keseimbangan dan keselarasan antara pembangunan bidang jasmani dan rohani antar bidang material dan spritual, antara bekal keduniaan dan ingin berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan sesama manusia dan dengan lingkungan hidupnya secara seimbang. Pembangunan seperti ini menjadi pangkal tolak pembangunan bidang agama. Di sisi lain, yang menjadi sasaran pembangunan jangka panjang di bidang agama adalah terbinanya iman bangsa Indonesia kepada Tuhan Yang Maha Esa, dalam kehidupan yang selaras, seimbang dan serasi antara lahiriah dan rohaniah.
B. Peranan Pendidikan Islam di Sekolah Umum
Diketahui bahwa agama (Islam) dan pendidikan adalah dua hal yang satu sama lain saling berhubungan. Melalui agama, manusia diarahkan menjadi manusia seutuhnya sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Proses pengembangannya adalah melalui pendidikan. Karena dengan pendidikan orang akan menjadi lebih dewasa dan lebih mampu baik dari segi kecerdasannya maupun sikap mentalnya. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Dawam Raharjo (2002: 85), bahwa agama dimaksudkan untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya, dengan pertama-tama mengarahkan siswa menjadi “manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa”.
Di samping itu juga, agama memberikan tuntunan yang jelas kepada manusia, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang harus dikerjakan dan mana pula yang harus ditinggalkan, mana yang menguntungkan dan mana yang merugikan. Sementara pendidikan itu sendiri menurut Jalaluddin (2005:57), pada hakikatnya merupakan proses dan aktivitas pengembangan system nilai yang difokuskan pada pengembangan akhlaq al-karimah pada diri individu.
Oleh karena itu, pengembangan potensi individu dalam segala aspeknya harus mengarah pada nilai-nilai akhlak mulia ini. Pelaksanaan pendidikan agama di sekolah memerlukan suasana interaksi antara guru dan siswa yang sifatnya lebih mendalam, lahir dan batin. Figur guru agama bukan sekadar “penyampai” materi pelajaran, tetapi lebih dari itu adalah sebagai “sumber spiritual” dan sekaligus sebagai “pembimbing.”
Sehingga terjalin hubungan pribadi yang mendekat antara guru dan siswa dan mampu melahirkan keterpaduan bimbingan ruhani dan akhlak dengan materi pengajarannya.
Karena itu, fungsi dan peran guru agama tidak cukup hanya bermodal “profesional” semata, tetapi perlu pula didukung oleh kekuatan “moral.” Begitu pula tentang mutu pendidikan agama dan pencapaian prestasi siswa tidak dapat begitu saja diukur lewat tabel-tabel statistik. Mutu dan keberhasilan pendidikan agama mestinya diukur dengan totalitas siswa sebagai pribadi dan sosial. Perilaku dan kesalehan yang ditampilkan dalam keseharian lebih penting dibandingkan dengan pencapaian nilai (angka) 9 atau A. Karena itu, menurut Malik Fadjar (2005: 196-197) mutu maupun pencapaian pendidikan agama perlu diorientasikan kepada hal-hal sebagai berikut.
1. Tercapainya sasaran kualitas pribadi, baik sebagai manusia yang beragama maupun sebagai manusia Indonesia yang ciri-cirinya dijadikan tujuan pendidikan nasional.
2. Integrasi pendidikan agama dengan keseluruhan proses maupun institusi pendidikan yang lain.
3. Tercapainya internalisasi nilai-nilai dan norma-norma keagamaan yang fungsinya secara moral untuk mengembangkan keseluruhan system sosial dan budaya.
4. Penyadaran pribadi akan tuntutan hari depannya dan transformasi sosial serta budaya yang terus berlangsung.
5. Pengembangan wawasan ijtihadiyah (cerdas rasional) di samping penyerapan ajaran secara aktif.
C. Problematika Pendidikan Islam di Sekolah
Pokok permasalahan yang menjadi sumber utama problematika pendidikan agama di sekolah selama ini hanya dipandang melalui aspek kognitif atau nilai dalam bentuk angka saja, tidak dipandang bagaimana siswa didik mengamalkan dalam dunia nyata sehingga belajar agama sebatas menghafal dan mencatat. Hal ini mengakibatkan pelajaran agama menjadi pelajaran teoritis bukan pengamalan atau penghayatan terhadap nilai agama itu sendiri. Paulo Freire menegaskan bahwa fungsi pendidikan adalah untuk pembebasan, bukan untuk penguasaan. Tujuan pendidikan adalah untuk menggarap realitas manusia, dan karena itu secara metodologis bertumpu pada prinsip-prinsip aksi dan refleksi total, yakni prinsip bertindak untuk mengubah kenyataan yang menindas dan pada sisi simultan lainnya secara terus-menerus menumbuhkan kesadaran akan realitas dan hasrat untuk mengubah kenyataan yang menindas.
Sehubungan dengan hal di atas, cara berpikir kita sepertinya harus diubah. Hal ini mengingat bahwa pendidikan itu penting. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 tahun 1989. Oleh karena perubahan zaman yang makin modern maka kurikulum juga harus dapat beradaptasi dengan perubahan itu sendiri. Guru juga harus kreatif mengaplikasikan materi pendidikan agama sesuai dengan situasi murid. Gaya bercerita, diskusi, problem-solving (pemecahan masalah), dan simulasi adalah alternatif positif yang dapat dimasukkan dalam metode yang tepat untuk pembelajaran agama. Menurut Al Nahwawi, metode pengajaran yang sesuai dengan Al Qur’an dan Al Hadist meliputi :
1. Metode Hiwar Qur’ani dan Nabawi: dialog yang mengarah pada tujuan pendidikan.
2. Metode kisah Qur’ani dan Nabawi: kisah menarik dan diambil keteladanannya untuk dijadikan panutan.
3. Metode Amtsal: membaca teks untuk mempermudah siswa dalam memahami suatu konsep.
4. Metode Teladan: menggunakan keteladanan dalam memnanamkan penghayatan dan pengamalan materi tersebut.
5. Metode Pembiasaan: pengulangan yang dilakukan secara terus-menerus sehingga menjadi suatu kebiasaan.
6. Metode Ibrah dan Mauziah: menelaah ibrah dari kisah dengan nasihat yang lembut dan menyentuh.
7. Metode Targhib dan Tahrib: didasarkan kepada ganjaran dan hukuman.
Dalam hal ini, menurut Seyyed Hossein Nasr bahwa guru bukan sekedar menjadi penyampai ilmu (mu’allim), akan tetapi lebih dititikberatkan sebagai murobbi untuk melatih jiwa dan kepribadian, murobbi akan selalu mengawasi perkembangan materi yang disampaikan dalam perkembangan akhlak siswa didik. Perlunya kesadaran siswa didik sebagai khalifatullah fil ‘ardh akan membangun semangat bahwa agama tidak sebatas ritual saja. Akan tetapi, akan membangun toleransi, menjunjung kebenaran, dan keadilan. Dengan hal ini, agama berfungsi sebagai media penyadaran. Untuk itu, perlu dilakukan evaluasi dalam pendidikan agama, yakni:
1. Sikap dan pengamalan diri hubungan siswa didik dengan Allah.
Apakah pendidikan agama mampu diterapkan oleh siswa didik untuk beribadah kepada Allah.
2. Sikap dan pengamalan diri hubungan siswa didik dengan masyarakat.
Dengan mempelajari pelajaran agama diharapkan siswa mampu bersosialisasi dengan masyarakat sekitar.
3. Sikap dan pengamalan diri hubungan siswa didik dengan alam.
Untuk bisa berinteraksi serta memanfaatkan kekaayaan alam sesuai dengan tuntunan agama.
Sehubungan dengan itu, guru harus mampu mengevaluasi peserta didiknya secara terus-menerus, menyeluruh, dan ikhlas walaupun peran dan wewenangnya terbatas dapat bermakna dalam membina dan membimbing generasi penerus bangsa dari kegersangan rohani.
D. Isu-Isu Pendidikan Islam di Sekolah Umum
Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa pada awal perkjembangan sains moderen (sekitar abad 16/ 17 M) pernah terjadi perpecahan antra kaum agamawi dan ilmuan, yang ditandai dengan sikap kekerasan kaum agamawi eropa (penganut geosentis) kepada penganut heliosentris, seperti Bruno, Kepler, Galileo dan lain-lain.
Dalam keyakinan beragama, (sebagai hasil pendidikan agama) diharapkan mampu memperkuat upaya penguasaan dan pengembangan iptek dan sebaliknya, pengembangan iptek memperkuat keyakinan beragama. Beberapa kelemahan dari pendidikan agama islam disekolah, baik dalam pemahaman materi pendidikan agama islam maupun dalam pelaksanaannya, yaitu:
1. Dalam bidang teologi, ada kecendrungan mengarah pada paham patalisti
2. Bidang akhlak yang berorientasi pada urusan sopan santun dan belum dipahami sebagian keseluruhan peribadi manusia beragama
3. Dalam ibadah diajarkan sebagai kegiatan rutin agama dan kurang ditekankan sebagai proses pembentukan keperibadian
4. Dalam bidang hukum cendrung dipelajari sebagai tata turan yang tidak akan berubah sepanjang masa dan kurang memahami dinamikan dan jiwa hukum islam.
5. Agama islam cendrung diajarkan dogma dan kurang mengembangkan raionalitas secara kecintaan ada kemajuan pengetahuan.
Salah satu masalah yang sering dikemukakan para pengamat pendidikan Islam adalah adanya kekurangan jam pelajaran untuk pengajaran agama Islam yang disediakan di sekolah-sekolah umum. Masalah inilah yang dianggap sebagai penyebab utama timbulnya kekurangan para pelajar dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama. Abuddin Nata dalam bukunya Manajemen Pendidikan memberikan solusi alternatif yang dapat digunakan dalam mengatasi kekurangan jam pelajaran agama yang diberikan di sekolah. Solusi tersebut antara lain ;
1. Mengubah orientasi dan focus pengajaran agama yang semula berpusat pada pemberian pengetahuan agama dalam arti memahami dan menghafal ajaran agama sesuai kurikulum, menjadi pengajaran agama yang berorientasi pada pengalaman dan pembentukan sikap keagamaan melalui pembiasaan hidup sesuai dengan agama
2. Melakukan kegiatan ekstrakurikuler yang dirancang sesuai dengan kebutuhan dengan penekanan utamanya pada pengamalan agama dalam kehidupan sehari-hari.
3. Meningkatkan perhatian, kasih sayang, bimbingan dan pengawasan yang diberikan oleh orang tuanya di rumah.
4. Melaksanakan tradisi keislaman yang didasarkan pada al Qur’an dan al sunnah yang disertai dengan penghayatan dan pesan moral yang terkandung di dalamnya.
5. Pembinaan sikap keagamaan melalui media informasi dan komunikasi.
Sementara Mu’arif menilai bahwa hadirnya pendidikan agama yang mewarnai wajah pendidikan nasional memiliki banyak kelemahan, baik aspek sistemnya maupun metode pembelajarannya; yang kesemuanya kurang mengakomodir kepentingan-kepentingan murid dalam rangka pengembangan potensi-potensi mereka. Muarif menilai bahwa guru-guru agama dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran hanya memfokuskan diri pada penanaman nilai-nilai moral agama yang ditarnsformasikan secara langsung kepada murid-murid dengan tidak menyematkan metode dialogisdan partisipatoris. Yang terjadi kemudian, murid-murid hanya mewakili dari obyekpembelajaran statis yang menerima transformasi pengetahun dari guru. Artinya, siswa hanya dibekali teori tanpa disertakan aplikasi dan pembiasaan dalam kehidupan nyata. Sehingga pendidikan agama tidak dapat berpengaruh banyak terhadap prilaku dan moral keseharian peserta didik.
Berbeda dengan tanggapan muarif, Prof. Haidar Putra Daulay menilai bahwa pendidikan Islam secara keseluruhan di Indonesia semakin kukuh kedudukannya, apalagi setelah masuk dan inklusif dalam system pendidikan nasional yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 1989 yang selanjutnya diatur pula serangkaian peraturan pemerintah yang berkenaan dengan pendidikan yang relevan dengan UU No. 20 Tahun 2003. Namun, – lanjut Haidar – untuk mengukuhkan eksistensi pendidikan Islam di Indonesia, maka usaha ke depan adalah bagaimana memberdayakannya dan mengembangkannya. Untuk memberdayakannya perlu dicari way out atau solusi dari berbagai problema yang sedang dihadapi; apakah itu tenaga pendidik, sarana fasilitas, kurikulum, maupun structural dan kultural.
Sehubungan dengan alokasi waktu pelajaran agama yang sedikit, Prof. Haidar menjelaskan bahwa guru dan sekolah dapat melakukan berbagai kegiatan-kegiatan di luar jam formal untuk menunjang kegiatan pendidikan agama, kegiatan itu seperti:
1. Bimbingan kehidupan beragama
2. Uswatun hasanah (suri teladan)
3. Malam ibadah
4. Pesantren kilat
5. Laboratorium pendidikan agama
6. Iklim religius, dan lain sebagainya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa:
Pada dasarnya, problematika pendidikan agama secara umum hanya mengedepankan aspek kognitif atau hasil pencapaian akhir terhadap suatu mata pelajaran. Hal ini belum mencapai aspek afektif, yaitu pembentukan sifat dan karakter siswa didik bagaimana siswa tersebut dapat menerapkan pelajaran yang telah didapat dan aspek psikomotorik yaitu pengembangan kreativitas. Untuk itu, entah bagaimana pengaplikasiandidikan agama tidak terlalu penting sehingga cenderung diremehkan.
Metode yang dilakukan oleh para guru agama juga menjadi salah satu faktor problematika pendidikan agama di sekolah. Oleh karena itu, untuk mengatasi problematika tersebut guru menjadi kunci penting, yakni bertindak dengan menggunakan metode yang tepat bagi kelancaran pembelajaran agama.
Apalagi, pelajaran agama belum menjadi alat utama untuk menentukan lulus atau tidaknya siswa didik dalam suatu jenjang pendidikan. Inilah yang menurut siswa didik, pendidikan agama tidak terlalu penting sehingga cenderung diremehkan. Metode yang dilakukan oleh para guru agama juga menjadi salah satu faktor problematika pendidikan agama di sekolah. Oleh karena itu, untuk mengatasi problematika tersebut guru menjadi kunci penting, yakni bertindak dengan menggunakan metode yang tepat bagi kelancaran pembelajaran agama.
DAFTAR REFERENSI
http://id.shvoong.com/books/guidance-self-improvement/1968045-isu-isu-pendidikan-agama-di/#ixzz1tezko6JV, diakses pada tanggal 1 Mei 2012
http://smait.nurhidayahsolo.com/index.php/component/content/article/70-karya-siswa/83-makalah-problematika-pendidikan-agama-islam-di-sekolah, diakses pada tanggal 1 Mei 2012
http://id.shvoong.com/books/guidance-self-improvement/1968045-isu-isu-pendidikan-agama-di-sekolah, diakses pada tanggal 1 Mei 2012
http://sumsel.kemenag.go.id/file/dokumen/peranandidik.pdf, diakses pada tanggal 1 Mei 2012
Sumber :http://abdwahidhoriz.wordpress.com/2012/07/14/pendidikan-agama-di-sekolah-umum/
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pendidikan merupakan sebuah yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan umat manusia. Karenanya manusia harus senantiasa mencari dan menuntut ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan salah satu factor penting yang mengharuskan manusia untuk selalu mengembangkan keilmuannya agar dapat beradaptasi di dunia modern yang kaya akan kemajuan ilmu dan teknologi.
Seiring dengan kemajuan jaman dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia globalisasi maka perlu juga peningkatan pendidikan islam (agama) agar kita selaku umat islam senantiasa berada pada jalan yang diridhoi Allah SWT. serta tidak terpengaruh oleh budaya dan gaya hidup orang-orang barat yang secara terang-terangan sudah mewabah kepada penduduk islam dunia khususnya di Indonesia.
Sekolah merupakan sarana dan tempat menuntut ilmu bagi para peserta didik, juga tempat memperkaya dan memperluas keilmuan peserta didik. Tapi yang ditanyakan adalah, bagaimanakan pendidikan islam yang ada di sekolah? Apakan ada pengaruhnya pendidikan islam di sekolah? Berapa jamkah mata pelajaran pendidikan agama islam dilaksakan di sekolah?. Perlu kita analisis bagaimana keberadaan pendidikan islam di sekolah-sekolah baik negeri maupun swasta.
Dalam makalah ini kami membahas tentang isu-isu pendidikan islam di sekolah umum. Bagaimanakah bentuk pengajaran pendidikan islam di sekolah dan peranan pendidikan islam di sekolah dan lain sebagainya.
B. Identifikasi Masalah
1. Pendidikan Agama di Sekolah
2. Peranan Pendidikan Islam di Sekolah
3. Problematika Pendidikan Islam di Sekolah
4. Isu-Isu Pendidikan Islam di Sekolah Umum
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidikan Agama di sekolah Umum
Pendidikan agama Islam pada hakikatnya adalah upaya transfer nilai-nilai agama, pengetahuan dan budaya yang dilangsungkan secara berkesinambungan sehingga nilai-nilai itu dapat menjadi sumber motivasi dan aspirasi serta tolok ukur dalam perbuatan dan sikap maupun pola berpikir. Sementara tekad bangsa Indonesia yang selalu ingin kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen sangat kuat. Berdasarkan tekad itu pulalah maka kehidupan beragama dan pendidikan agama khususnya semakin mendapat tempat yang kuat dalam organisasi dan struktur pemerintahan.
Kelahiran pendidikan agama yang sekarang ini kita kenal menjadi mata pelajaran berakar dari pendidikan sekuler minus agama yang dikembangkan pemerintah penjajah. Usaha menghidupkan kembali eksistensi pembelajaran agama ini menemukan momentumnya setelah terbit UU No. 4 Tahun 1950 dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Menteri Agama tanggal 16 Juli 1951 yang menjamin adanya pendidikan agama di sekolah umum.
Pembangunan Nasional memang dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia dan masyarakat Indonesia seutuhnya. Hal ini berarti adanya keserasian, keseimbangan dan keselarasan antara pembangunan bidang jasmani dan rohani antar bidang material dan spritual, antara bekal keduniaan dan ingin berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan sesama manusia dan dengan lingkungan hidupnya secara seimbang. Pembangunan seperti ini menjadi pangkal tolak pembangunan bidang agama. Di sisi lain, yang menjadi sasaran pembangunan jangka panjang di bidang agama adalah terbinanya iman bangsa Indonesia kepada Tuhan Yang Maha Esa, dalam kehidupan yang selaras, seimbang dan serasi antara lahiriah dan rohaniah.
B. Peranan Pendidikan Islam di Sekolah Umum
Diketahui bahwa agama (Islam) dan pendidikan adalah dua hal yang satu sama lain saling berhubungan. Melalui agama, manusia diarahkan menjadi manusia seutuhnya sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Proses pengembangannya adalah melalui pendidikan. Karena dengan pendidikan orang akan menjadi lebih dewasa dan lebih mampu baik dari segi kecerdasannya maupun sikap mentalnya. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Dawam Raharjo (2002: 85), bahwa agama dimaksudkan untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya, dengan pertama-tama mengarahkan siswa menjadi “manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa”.
Di samping itu juga, agama memberikan tuntunan yang jelas kepada manusia, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang harus dikerjakan dan mana pula yang harus ditinggalkan, mana yang menguntungkan dan mana yang merugikan. Sementara pendidikan itu sendiri menurut Jalaluddin (2005:57), pada hakikatnya merupakan proses dan aktivitas pengembangan system nilai yang difokuskan pada pengembangan akhlaq al-karimah pada diri individu.
Oleh karena itu, pengembangan potensi individu dalam segala aspeknya harus mengarah pada nilai-nilai akhlak mulia ini. Pelaksanaan pendidikan agama di sekolah memerlukan suasana interaksi antara guru dan siswa yang sifatnya lebih mendalam, lahir dan batin. Figur guru agama bukan sekadar “penyampai” materi pelajaran, tetapi lebih dari itu adalah sebagai “sumber spiritual” dan sekaligus sebagai “pembimbing.”
Sehingga terjalin hubungan pribadi yang mendekat antara guru dan siswa dan mampu melahirkan keterpaduan bimbingan ruhani dan akhlak dengan materi pengajarannya.
Karena itu, fungsi dan peran guru agama tidak cukup hanya bermodal “profesional” semata, tetapi perlu pula didukung oleh kekuatan “moral.” Begitu pula tentang mutu pendidikan agama dan pencapaian prestasi siswa tidak dapat begitu saja diukur lewat tabel-tabel statistik. Mutu dan keberhasilan pendidikan agama mestinya diukur dengan totalitas siswa sebagai pribadi dan sosial. Perilaku dan kesalehan yang ditampilkan dalam keseharian lebih penting dibandingkan dengan pencapaian nilai (angka) 9 atau A. Karena itu, menurut Malik Fadjar (2005: 196-197) mutu maupun pencapaian pendidikan agama perlu diorientasikan kepada hal-hal sebagai berikut.
1. Tercapainya sasaran kualitas pribadi, baik sebagai manusia yang beragama maupun sebagai manusia Indonesia yang ciri-cirinya dijadikan tujuan pendidikan nasional.
2. Integrasi pendidikan agama dengan keseluruhan proses maupun institusi pendidikan yang lain.
3. Tercapainya internalisasi nilai-nilai dan norma-norma keagamaan yang fungsinya secara moral untuk mengembangkan keseluruhan system sosial dan budaya.
4. Penyadaran pribadi akan tuntutan hari depannya dan transformasi sosial serta budaya yang terus berlangsung.
5. Pengembangan wawasan ijtihadiyah (cerdas rasional) di samping penyerapan ajaran secara aktif.
C. Problematika Pendidikan Islam di Sekolah
Pokok permasalahan yang menjadi sumber utama problematika pendidikan agama di sekolah selama ini hanya dipandang melalui aspek kognitif atau nilai dalam bentuk angka saja, tidak dipandang bagaimana siswa didik mengamalkan dalam dunia nyata sehingga belajar agama sebatas menghafal dan mencatat. Hal ini mengakibatkan pelajaran agama menjadi pelajaran teoritis bukan pengamalan atau penghayatan terhadap nilai agama itu sendiri. Paulo Freire menegaskan bahwa fungsi pendidikan adalah untuk pembebasan, bukan untuk penguasaan. Tujuan pendidikan adalah untuk menggarap realitas manusia, dan karena itu secara metodologis bertumpu pada prinsip-prinsip aksi dan refleksi total, yakni prinsip bertindak untuk mengubah kenyataan yang menindas dan pada sisi simultan lainnya secara terus-menerus menumbuhkan kesadaran akan realitas dan hasrat untuk mengubah kenyataan yang menindas.
Sehubungan dengan hal di atas, cara berpikir kita sepertinya harus diubah. Hal ini mengingat bahwa pendidikan itu penting. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 tahun 1989. Oleh karena perubahan zaman yang makin modern maka kurikulum juga harus dapat beradaptasi dengan perubahan itu sendiri. Guru juga harus kreatif mengaplikasikan materi pendidikan agama sesuai dengan situasi murid. Gaya bercerita, diskusi, problem-solving (pemecahan masalah), dan simulasi adalah alternatif positif yang dapat dimasukkan dalam metode yang tepat untuk pembelajaran agama. Menurut Al Nahwawi, metode pengajaran yang sesuai dengan Al Qur’an dan Al Hadist meliputi :
1. Metode Hiwar Qur’ani dan Nabawi: dialog yang mengarah pada tujuan pendidikan.
2. Metode kisah Qur’ani dan Nabawi: kisah menarik dan diambil keteladanannya untuk dijadikan panutan.
3. Metode Amtsal: membaca teks untuk mempermudah siswa dalam memahami suatu konsep.
4. Metode Teladan: menggunakan keteladanan dalam memnanamkan penghayatan dan pengamalan materi tersebut.
5. Metode Pembiasaan: pengulangan yang dilakukan secara terus-menerus sehingga menjadi suatu kebiasaan.
6. Metode Ibrah dan Mauziah: menelaah ibrah dari kisah dengan nasihat yang lembut dan menyentuh.
7. Metode Targhib dan Tahrib: didasarkan kepada ganjaran dan hukuman.
Dalam hal ini, menurut Seyyed Hossein Nasr bahwa guru bukan sekedar menjadi penyampai ilmu (mu’allim), akan tetapi lebih dititikberatkan sebagai murobbi untuk melatih jiwa dan kepribadian, murobbi akan selalu mengawasi perkembangan materi yang disampaikan dalam perkembangan akhlak siswa didik. Perlunya kesadaran siswa didik sebagai khalifatullah fil ‘ardh akan membangun semangat bahwa agama tidak sebatas ritual saja. Akan tetapi, akan membangun toleransi, menjunjung kebenaran, dan keadilan. Dengan hal ini, agama berfungsi sebagai media penyadaran. Untuk itu, perlu dilakukan evaluasi dalam pendidikan agama, yakni:
1. Sikap dan pengamalan diri hubungan siswa didik dengan Allah.
Apakah pendidikan agama mampu diterapkan oleh siswa didik untuk beribadah kepada Allah.
2. Sikap dan pengamalan diri hubungan siswa didik dengan masyarakat.
Dengan mempelajari pelajaran agama diharapkan siswa mampu bersosialisasi dengan masyarakat sekitar.
3. Sikap dan pengamalan diri hubungan siswa didik dengan alam.
Untuk bisa berinteraksi serta memanfaatkan kekaayaan alam sesuai dengan tuntunan agama.
Sehubungan dengan itu, guru harus mampu mengevaluasi peserta didiknya secara terus-menerus, menyeluruh, dan ikhlas walaupun peran dan wewenangnya terbatas dapat bermakna dalam membina dan membimbing generasi penerus bangsa dari kegersangan rohani.
D. Isu-Isu Pendidikan Islam di Sekolah Umum
Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa pada awal perkjembangan sains moderen (sekitar abad 16/ 17 M) pernah terjadi perpecahan antra kaum agamawi dan ilmuan, yang ditandai dengan sikap kekerasan kaum agamawi eropa (penganut geosentis) kepada penganut heliosentris, seperti Bruno, Kepler, Galileo dan lain-lain.
Dalam keyakinan beragama, (sebagai hasil pendidikan agama) diharapkan mampu memperkuat upaya penguasaan dan pengembangan iptek dan sebaliknya, pengembangan iptek memperkuat keyakinan beragama. Beberapa kelemahan dari pendidikan agama islam disekolah, baik dalam pemahaman materi pendidikan agama islam maupun dalam pelaksanaannya, yaitu:
1. Dalam bidang teologi, ada kecendrungan mengarah pada paham patalisti
2. Bidang akhlak yang berorientasi pada urusan sopan santun dan belum dipahami sebagian keseluruhan peribadi manusia beragama
3. Dalam ibadah diajarkan sebagai kegiatan rutin agama dan kurang ditekankan sebagai proses pembentukan keperibadian
4. Dalam bidang hukum cendrung dipelajari sebagai tata turan yang tidak akan berubah sepanjang masa dan kurang memahami dinamikan dan jiwa hukum islam.
5. Agama islam cendrung diajarkan dogma dan kurang mengembangkan raionalitas secara kecintaan ada kemajuan pengetahuan.
Salah satu masalah yang sering dikemukakan para pengamat pendidikan Islam adalah adanya kekurangan jam pelajaran untuk pengajaran agama Islam yang disediakan di sekolah-sekolah umum. Masalah inilah yang dianggap sebagai penyebab utama timbulnya kekurangan para pelajar dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama. Abuddin Nata dalam bukunya Manajemen Pendidikan memberikan solusi alternatif yang dapat digunakan dalam mengatasi kekurangan jam pelajaran agama yang diberikan di sekolah. Solusi tersebut antara lain ;
1. Mengubah orientasi dan focus pengajaran agama yang semula berpusat pada pemberian pengetahuan agama dalam arti memahami dan menghafal ajaran agama sesuai kurikulum, menjadi pengajaran agama yang berorientasi pada pengalaman dan pembentukan sikap keagamaan melalui pembiasaan hidup sesuai dengan agama
2. Melakukan kegiatan ekstrakurikuler yang dirancang sesuai dengan kebutuhan dengan penekanan utamanya pada pengamalan agama dalam kehidupan sehari-hari.
3. Meningkatkan perhatian, kasih sayang, bimbingan dan pengawasan yang diberikan oleh orang tuanya di rumah.
4. Melaksanakan tradisi keislaman yang didasarkan pada al Qur’an dan al sunnah yang disertai dengan penghayatan dan pesan moral yang terkandung di dalamnya.
5. Pembinaan sikap keagamaan melalui media informasi dan komunikasi.
Sementara Mu’arif menilai bahwa hadirnya pendidikan agama yang mewarnai wajah pendidikan nasional memiliki banyak kelemahan, baik aspek sistemnya maupun metode pembelajarannya; yang kesemuanya kurang mengakomodir kepentingan-kepentingan murid dalam rangka pengembangan potensi-potensi mereka. Muarif menilai bahwa guru-guru agama dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran hanya memfokuskan diri pada penanaman nilai-nilai moral agama yang ditarnsformasikan secara langsung kepada murid-murid dengan tidak menyematkan metode dialogisdan partisipatoris. Yang terjadi kemudian, murid-murid hanya mewakili dari obyekpembelajaran statis yang menerima transformasi pengetahun dari guru. Artinya, siswa hanya dibekali teori tanpa disertakan aplikasi dan pembiasaan dalam kehidupan nyata. Sehingga pendidikan agama tidak dapat berpengaruh banyak terhadap prilaku dan moral keseharian peserta didik.
Berbeda dengan tanggapan muarif, Prof. Haidar Putra Daulay menilai bahwa pendidikan Islam secara keseluruhan di Indonesia semakin kukuh kedudukannya, apalagi setelah masuk dan inklusif dalam system pendidikan nasional yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 1989 yang selanjutnya diatur pula serangkaian peraturan pemerintah yang berkenaan dengan pendidikan yang relevan dengan UU No. 20 Tahun 2003. Namun, – lanjut Haidar – untuk mengukuhkan eksistensi pendidikan Islam di Indonesia, maka usaha ke depan adalah bagaimana memberdayakannya dan mengembangkannya. Untuk memberdayakannya perlu dicari way out atau solusi dari berbagai problema yang sedang dihadapi; apakah itu tenaga pendidik, sarana fasilitas, kurikulum, maupun structural dan kultural.
Sehubungan dengan alokasi waktu pelajaran agama yang sedikit, Prof. Haidar menjelaskan bahwa guru dan sekolah dapat melakukan berbagai kegiatan-kegiatan di luar jam formal untuk menunjang kegiatan pendidikan agama, kegiatan itu seperti:
1. Bimbingan kehidupan beragama
2. Uswatun hasanah (suri teladan)
3. Malam ibadah
4. Pesantren kilat
5. Laboratorium pendidikan agama
6. Iklim religius, dan lain sebagainya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa:
Pada dasarnya, problematika pendidikan agama secara umum hanya mengedepankan aspek kognitif atau hasil pencapaian akhir terhadap suatu mata pelajaran. Hal ini belum mencapai aspek afektif, yaitu pembentukan sifat dan karakter siswa didik bagaimana siswa tersebut dapat menerapkan pelajaran yang telah didapat dan aspek psikomotorik yaitu pengembangan kreativitas. Untuk itu, entah bagaimana pengaplikasiandidikan agama tidak terlalu penting sehingga cenderung diremehkan.
Metode yang dilakukan oleh para guru agama juga menjadi salah satu faktor problematika pendidikan agama di sekolah. Oleh karena itu, untuk mengatasi problematika tersebut guru menjadi kunci penting, yakni bertindak dengan menggunakan metode yang tepat bagi kelancaran pembelajaran agama.
Apalagi, pelajaran agama belum menjadi alat utama untuk menentukan lulus atau tidaknya siswa didik dalam suatu jenjang pendidikan. Inilah yang menurut siswa didik, pendidikan agama tidak terlalu penting sehingga cenderung diremehkan. Metode yang dilakukan oleh para guru agama juga menjadi salah satu faktor problematika pendidikan agama di sekolah. Oleh karena itu, untuk mengatasi problematika tersebut guru menjadi kunci penting, yakni bertindak dengan menggunakan metode yang tepat bagi kelancaran pembelajaran agama.
DAFTAR REFERENSI
http://id.shvoong.com/books/guidance-self-improvement/1968045-isu-isu-pendidikan-agama-di/#ixzz1tezko6JV, diakses pada tanggal 1 Mei 2012
http://smait.nurhidayahsolo.com/index.php/component/content/article/70-karya-siswa/83-makalah-problematika-pendidikan-agama-islam-di-sekolah, diakses pada tanggal 1 Mei 2012
http://id.shvoong.com/books/guidance-self-improvement/1968045-isu-isu-pendidikan-agama-di-sekolah, diakses pada tanggal 1 Mei 2012
http://sumsel.kemenag.go.id/file/dokumen/peranandidik.pdf, diakses pada tanggal 1 Mei 2012
Sumber :http://abdwahidhoriz.wordpress.com/2012/07/14/pendidikan-agama-di-sekolah-umum/
0 komentar :
Posting Komentar